Fenomena Aurora Langka Terlihat di Berbagai Wilayah

Aurora Borealis terlihat di wilayah luas Hokkaido, prefektur paling utara Jepang, Sabtu (11/5) malam dan Minggu (12/5) dini hari. FOTO: KIKAWA AKIFUMI/NHK

Darilaut – Fenomena aurora melalui pertunjukan cahaya utara yang langka terlihat di berbagai wilayah Bumi. Seperti di Jepang, masyarakat dapat mengamati dan disuguhi penampakan cahaya utara.

Di Bumi, aurora terjadi di daerah di sekitar Kutub Utara dan Kutub Selatan.  Aurora yang ada di langit bagian Kutub Selatan disebut Aurora Australis, sedangkan aurora yang ada di langit bagian Kutub Utara disebut Aurora Borealis.

Pekan ini Aurora Borealis terlihat di wilayah luas Hokkaido, prefektur paling utara Jepang, dari Sabtu (11/5) malam hingga Minggu (12/5) dini hari.

Di Kota Rikubetsu di timur Hokkaido pada hari Sabtu, kerumunan orang berkumpul di observatorium astronomi setempat untuk melihat sekilas pemandangan langka tersebut.

Kota ini dikenal sebagai salah satu tempat terbaik untuk melihat aurora karena hanya terdapat sedikit lampu kota di utara.

Juru kamera NHK menangkap gambar ini pada pukul 21:30. pada hari Sabtu di Kota Wajima di Semenanjung Noto, Prefektur Ishikawa, Jepang tengah.

Cahaya tersebut tidak terlihat dengan mata telanjang, namun dapat dilihat melalui lensa kamera.

Belahan Bumi lain yang dapat mengamati fenomena Aurora seperti terlihat di daerah Southampton, Inggris pada Sabtu (11/5) dini hari, tidak jauh dari pusat kota. Padahal, daerah ini jauh dari lingkar kutub.

Melansir BRIN, aurora merupakan fenomena alam yang menghasilkan pancaran cahaya yang menyala-nyala dan menari-nari di langit malam pada lapisan ionosfer.

Hal ini disebabkan adanya interaksi antara partikel di atmosfer Bumi dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh Matahari. Partikel surya tersebut menembus masuk setelah dibelokkan oleh medan magnet Bumi.

Menurut Dr. Rhorom Priyatikanto, Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Antariksa ORPA- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ketampakan ini berkaitan dengan badai geomagnet ekstrim yang dipicu oleh rentetan Lontaran Massa Korona (Coronal Mass Ejection atau CME) yang terjadi beberapa hari sebelumnya.

Setidaknya ada 4 (empat) lontaran korona dari Matahari yang mengarah ke Bumi, terjadi tanggal 8-9 Mei dan berkaitan dengan daerah aktif super besar dengan nomor AR 3664. CME merupakan letupan besar di atmosfer Matahari yang turut menghempaskan milyaran ton materi ke antariksa. CME kuat biasa terjadi bersamaan dengan kilatan (flare) Matahari.

Rhorom mengatakan butuh waktu sekitar 2 hari bagi awan partikel yang terlontar tadi untuk akhirnya menghantam Bumi pada tanggal 10-12 Mei. Badai ekstrim ini dibilang sebagai badai terkuat setelah Halloween storm yang terjadi tahun 2003 silam.

Di Pusat Riset Antariksa BRIN, beberapa Peneliti melakukan kegiatan pemantauan cuaca antariksa. Hal ini dilakukan untuk memprediksi keadaan cuaca antariksa di keesokan harinya.

Bagaimana aktivitas matahari, aktivitas geomagnet dan ionosfer diamati dan diteliti apakah ada peningkatan aktivitas hingga menghasilkan ganguan atau tenang. Seperti yang dijelaskan bahwa Aurora merupakan dampak yang terjadi akibat adanya badai matahari yang kuat.

Melalui informasi yang dikeluarkan oleh layanan BRIN yaitu Space Weather Information and Forecast Services (SWIFtS) di https://swifts.brin.go.id/, berdasarkan hasil riset Peneliti Pusat Riset Antariksa BRIN, didapatkan bahwa aktivitas badai matahari di waktu tersebut memang sedang sangat tinggi.

Sejak 8 Mei 2024 telah diprediksi kemungkinan adanya kilatan (flare) kuat selama 4 hari berturut-turut yang berasal dari daerah aktif super besar yang kemudian menghasilkan lontaran massa korona dan gangguan di ionosfer yang berpotensi mengganggu sistem komunikasi radio frekuensi tinggi (HF).

Gangguan di ionosfer ini kemudian terkonfirmasi dari data pengamatan ionosfer dari Stasiun Observasi Atmosfer dan Antariksa Pontianak, pada tanggal 12 dan 13 Mei  2024 menunjukan adanya badai ionosfer yang diinformasikan di SWIFtS.

“Masih ada kemungkinan badai ekstrim seperti ini berulang lagi pada siklus Matahari 25 yang puncak aktivitasnya belum terlewati,” kata Rhorom.

Aurora yang terlihat di Southampton pada Sabtu (11/5) merupakan aurora borealis yang juga dapat dilihat di Eropa tengah-utara hingga Amerika utara. Pada saat yang sama, aurora australis juga muncul dengan intensitas yang lebih rendah.

Aurora tak muncul di langit Indonesia dikarenakan medan magnet Bumi yang berbentuk menyerupai apel, yakni tebal di daerah ekuator. Posisi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa, amat sulit bagi partikel surya untuk menembus masuk ke atmosfer dan memunculkan aurora di atas Indonesia.

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyoroti pentingnya prakiraan kejadian cuaca luar angkasa yang berpotensi mengganggu.

Peristiwa ini berhubungan dengan salah satu badai geomagnetik terbesar dalam beberapa dekade telah menyebabkan pertunjukan cahaya spektakuler di langit di seluruh dunia.

Dari tanggal 10-13 Mei, aurora (biasanya di daerah kutub) dapat terlihat di garis lintang yang sangat rendah.

Penampakan aurora borealis (belahan bumi utara) yang spektakuler diamati misalnya dari Florida, Italia dan Spanyol, sedangkan aurorae australis (belahan bumi selatan) dilaporkan sampai ke utara hingga Queensland di Australia.

Hal ini merupakan akibat dari badai geomagnetik ekstrem (kategori tertinggi) yang berasal dari serangkaian lontaran massa koronal (CME’s) – awan material plasma yang terlempar dari Matahari dengan kecepatan tinggi ke ruang antarplanet.

Awan plasma ini membawa medan magnet yang berinteraksi dengan medan magnet bumi ketika menemukan planet kita dalam jalurnya melalui ruang antarplanet.

Meskipun aurora adalah tontonan yang menarik, badai geomagnetik juga berpotensi mengganggu dampak seperti tekanan yang dapat ditimbulkan pada jaringan listrik akibat arus induksi pada saluran listrik, dan kemungkinan dampak pada komunikasi dan operasi satelit.

Sumber: NHK, BRIN dan WMO

Exit mobile version