Indonesia Bukan Lagi Penghasil Emisi Terbesar Dari Kebakaran Hutan dan Lahan

Karhutla di Singkawang, Kalimantan Barat. FOTO: KLHK

Darilaut – Data Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) Uni Eropa, menunjukkan bahwa Indonesia tidak termasuk ke dalam kelompok negara-negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Negara-negara maju, seperti AS dan Kanada, termasuk di dalam kelompok tersebut.

Dalam siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Kamis (18/1) emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh Indonesia, tidak lagi sebesar di tahun-tahun sebelumnya. Seperti pada kondisi 2015 dan 2019.

Dengan demikian, Indonesia tidak lagi menjadi negara peng-emisi 5 terbesar secara global. Bahkan pada tahun 2021 tercatat peng-emisi ke-9, dengan angka penurunan emisi 890 juta Ton CO2eq.

Data pemerintah mencatat bahwa luas kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2015 menunjukkan tren menurun sampai dengan Oktober 2023.

Sejak kejadian tahun 2015 (baseline) dengan adanya perubahan paradigma pengendalian karhutla sampai dengan sekarang, luas karhutla di Indonesia menurun signifikan 94% – 37%.

Pada tahun 2015, data hotspot dari satelit Terra/Aqua (MODIS NASA) 70.971 titik, 2016: 3.844 titik, 2017: 2.440 titik, 2018: 9.245 titik, 2019: 29.341 titik, 2020: 2.568 titik, 2021: 1.451 titik, 2022: 1.297 titik, dan 2023: 10.673 titik.

Tren penurunan titik panas ini, juga ekuivalen dengan luas area yang terbakar. Luas Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 2015 sampai 2023 berdasarkan citra satelite landsat 8 OLI/TIRS yang di overlay dengan data sebaran hotspot, serta laporan hasil groundchek hotspot dan laporan pemadaman yang dilaksanakan Manggala Agni sebagai berikut:

Tahun 2015: 2.611.411 ha, 2016: 438.368 ha, 2017: 165.484 ha, 2018: 529.267 ha, 2019: 1.649.258 ha, 2020: 296.942 ha, 2021: 358.864 ha,2022: 204.896 ha, 2023: 994.313 ha.

Kebakaran hutan dan lahan tahun 2023 berhasil ditekan lebih kecil sebesar 30,80% dibandingkan tahun 2019 dengan pengaruh El-Nino yang hampir sama. Bahkan kondisi 2023 lebih kering.

Kondisi ini telah diantisipasi melalui berbagai upaya pencegahan karhutla sejak awal tahun.

Kondisi ini dapat menjadi indikasi adanya keberhasilan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang efektif. Kenaikan hotspot yang terjadi pada tahun 2019 dan tahun 2023 disebabkan oleh adanya El Nino.

Namun, kita berhasil memitigasi fenomena El Nino sehingga jumlah hotspot dan luas tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya. Jika dibandingkan karhutla tahun 2019 dengan kondisi akibat dampak El-Nino yang serupa dengan tahun 2023, luas karhutla tahun 2023 masih jauh menurun.

Indonesia juga berhasil menekan kejadian karhutla khususnya di lahan gambut sehingga terjadi penurunan luas karhutla dari gambut.

Pada tahun 2015 terdapat luas karhutla di lahan gambut seluas 891.275 hektar atau 34% dari total luas karhutla, tahun 2019 turun menjadi 483.111 hektar atau 30% dari total luas karhutla, kemudian pada tahun 2023 semakin turun menjadi 182.789 hektar atau 16,38% dari total luas karhutla.

Selain itu, pengaturan tinggi muka air tanah 0,4 m ternyata tidak menyebabkan penurunan produktivitas perkebunan sawit. Penelitian menunjukkan terjadi peningkatan produktivitas antara 13-30%.

Pemerintah tetap konsisten menjalankan berbagai upaya untuk mencegah karhutla, mulai dari monitoring, penetapan kebijakan, pencegahan, hingga penegakan hukum.

Pada tahun 2024, KLHK sudah merencanakan upaya mitigasi kejadian karhutla dengan meningkatkan upaya-upaya pengendalian karhutla dengan melaksanakan patroli terpadu, TMC, monitoring hotspot, dan pemberdayaan masyarakat yang berada di wilayah rawan karhutla.

Selain itu, deforestasi Indonesia dari tahun ke tahun mengalami tren penurunan. Laju deforestasi atau penebangan hutan tertinggi lebih dari satu dekade yang lalu.

Indonesia telah berhasil menurunkan angka deforestasi sampai titik terendah pada tahun 2021-2022 sebesar 104 ribu ha. Sementara, deforestasi Indonesia tahun 2020-2021 adalah sebesar 113,5 ribu ha.

Exit mobile version