Bogor – Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) M Zulficar Mochtar mengatakan, pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) dalam pengelolaan perikanan memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya ikan.
Menurut Zulficar, sebagai bentuk pelaksanaan pendekatan kehati-hatian, terdapat penetapan titik-acuan target (Target Reference Points) dan titik-acuan batas (Limit Reference Point) untuk setiap jenis ikan yang dikelola. Hal ini terdapat dalam artikel 7.5.3 FAO-CCRF (FAO Code of conduct for Responsible Fisheries).
Pengelolaan berdasarkan reference points, kata Zulficar, merupakan intisari dari penetapan harvest strategy. Didalamnya termasuk penetapan alokasi usaha penangkapan ikan.
“Penetapan alokasi memastikan bahwa proses pengambilan keputusan pengelolaan stok jenis tertentu menjadi lebih konsisten, dapat diprediksi dan transparan,” ujar Zulficar, dalam sambutan Pertemuan Pembahasan Peluang Alokasi Usaha Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), Senin (15/7) di Bogor.
Penetapan alokasi ini sebagai salah satu pendekatan praktik-terbaik dalam proses pengambilan keputusan pada pengelolaan perikanan. Penetapan alokasi bersifat adaptif dan dilakukan melalui pendekatan berbasis-risiko (risk-based approach).
Menurut Sekretaris Ditjen Perikanan Tangkap yang juga Pelaksana Tugas Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan, Yuliadi, pendekatan kehati-hatian dalam pengelolaan perikanan dengan menghindari penambahan armada pada daerah penangkapan yang terindikasi over fishing, termasuk tertutup bagi izin baru dan andon.
Kemudian, mengoptimalkan pengoperasian jumlah armada eksisting pada daerah yang terindikasi sudah fully exploited.
Selanjutnya, menurut Yuliadi, ada pembatasan upaya penangkapan (hari operasi, bulan operasi). Pengaturan selektivitas alat tangkap, pengaturan ukuran ikan minimum yang boleh ditangkap dan penutupan daerah dan musim penangkapan.
Dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, didefinisikan Pengelolaan Perikanan adalah “semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.”
Selanjutnya, pasal 7 ayat 1 menyebutkan dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan: Potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
Dalam Pasal 15 ayat 2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 30/MEN/2012 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.26/MEN/2013 menyebutkan, “Berdasarkan estimasi potensi dan jumlah tangkapan sumber daya ikan yang diperbolehkan, Direktur Jenderal menetapkan jumlah GT kapal yang dapat memanfaatkan sumber daya ikan pada masing-masing WPP untuk pusat, provinsi dan kabupaten/kota”.
Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Perikanan Tangkap Nomor 86/KEP-DJPT/2018 tentang Mekanisme Perhitungan Alokasi Sumberdaya Ikan dan Alokasi Usaha Penangkapan Ikan di WPPNRI, telah ditetapkan jumlah alokasi usaha penangkapan ikan untuk kapal perikanan berukuran > 30 GT.
Hal ini mengacu pada Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di WPP dan disusun berdasarkan prinsip perikanan berkelanjutan, pemanfaatan yang berkeadilan, serta tanggung jawab sosial dan kepatuhan.
Hasil perhitungan alokasi sumberdaya ikan dan alokasi usaha penangkapan ikan yang ditetapkan mencakup proporsi alokasi sumber daya ikan Pusat dan Daerah di WPP. Yang ditentukan dengan mempertimbangkan eksisting kapal dan luas wilayah perairan. Kemudian, jumlah alokasi per kelompok jenis ikan (ton) pusat dan daerah di WPP.*