Usut Penyebab Hilangnya Nyawa ABK Indonesia di Kapal Ikan Tiongkok

YOUTUBE/MBCNEWS

Darilaut – Pemerintah Indonesia didesak untuk mengusut secara tuntas hilangnya nyawa anak buah kapal (ABK) atau awak kapal perikanan Indonesia di kapal berbendera Tiongkok.

Kisah tragis hilangnya nyawa ABK Indonesia terus berulang dan kembali jadi sorotan. Hal tersebut dialami oleh 4 orang dari 18 orang ABK yang bekerja dan sempat dipindah-pindahkan lintas kapal antara lain, Long Xing 629, Long Xing 802, Long Xing 605 dan Tian Yu 08.

Empat kapal yang saling terkait itu berbendera Tiongkok milik perusahaan Dalian Ocean Fishing Co., Ltd. Perlakuan dan kondisi kerja buruk di atas kapal diduga menjadi penyebab utama.

4 ABK yang meninggal dilaporkan sebelumnya mengalami sakit kritis. 3 ABK Indonesia, yang meninggal secara berturut-turut dan jasad ketiganya telah dilarung di laut, berinisial MA, S dan A.

Rangkaian kematian 3 ABK yang dilarung tersebut diperkirakan terjadi dalam periode September 2019 sampai Februari 2020. Adapun 1 ABK terakhir lainnya dengan inisial EP meninggal pada April 2020, setelah tiba dan sedang menjalani masa karantina di salah satu hotel di Busan, Korea Selatan.

Sementara 14 ABK Indonesia lainnya yang masih berada di Busan, dipulangkan ke Indonesia.

Ketua Umum Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Ilyas Pangestu, mengatakan, rangkaian kasus hilangnya nyawa ABK Indonesia tersebut menjadi indikasi kuat bahwa ada kondisi kerja sangat buruk dan eksploitatif yang dialami oleh para ABK.

“Kami menduga perusahaan pemilik kapal sangat lalai dalam memastikan kondisi kerja yang aman, sehat dan manusiawi di setiap kapalnya,” kata Ilyas.

Menurut Ilyas, kami juga sangat prihatin bahwa kasus serupa ini bukan kali pertama terjadi dan terus berulang, sehingga keseriusan Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal dalam menyelesaikan kasus-kasus seperti ini lagi-lagi dipertanyakan.

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno, menyoroti kebijakan dan pengawasan tata kelola perekrutan ABK perikanan yang hingga saat ini masih amburadul.
Hal ini menyebabkan setiap WNI yang ditempatkan dan bekerja di atas kapal ikan asing sangat rentan dieksploitasi. Bahkan sering menjadi korban dari tindak pidana perdagangan orang.

“Belum adanya aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah hingga saat ini terkait dengan tata laksana perekrutan dan penempatan ABK sebagai turunan dari UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, semakin menambah kerentanan dan berlanjutnya eksploitasi terhadap ABK Indonesia,” kata Hariyanto.

Menurut Hariyanto, ketidakjelasan aturan di dalam negeri juga akan melemahkan posisi dan diplomasi Indonesia di tingkat internasional. Apalagi jika sejumlah instrumen internasional kunci seperti Konvensi ILO 188 belum diratifikasi.

Sementara itu, Ketua Pelaut Dalam Negeri Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI), Nur Rahman, mengatakan, Pemerintah Indonesia perlu turut memastikan hak-hak ABK Indonesia dan keluarganya yang menjadi korban eksploitasi harus segera dipenuhi.

“Pemerintah harus memastikan perannya tidak hanya berhenti sampai pada proses pemulangan, tetapi juga hingga seluruh hak-hak ABK dan keluarganya seperti gaji dan santunan asuransi terpenuhi,” katanya.

Juru kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah Nasution, mengatakan, sudah sepatutnya diplomasi dan investigasi proaktif secara internasional dilakukan terhadap kasus yang menimpa 18 ABK Indonesia ini serta kasus-kasus lainnya yang menimpa ABK Indonesia agar peristiwa serupa di masa mendatang tidak berulang.

“Pemerintah Indonesia harus mendesak negara bendera kapal, dalam hal ini Tiongkok, untuk turut bertanggung jawab mengungkap rangkaian dugaan praktik perikanan ilegal dan bentuk-bentuk perbudakan modern yang selama ini sering dialami oleh ABK Indonesia dan juga kerap melibatkan kapal-kapal ikan berbendera Tiongkok,” kata Arifsyah.

Berdasarkan keprihatinan bersama yang mendalam atas kejadian tragis yang dialami oleh 18 ABK Indonesia, dengan ini SPPI, SBMI, PPI dan Greenpeace Indonesia menyatakan seruan kepada Pemerintah Indonesia:

Pertama, segera memastikan pemenuhan hak-hak 18 ABK Indonesia dan keluarganya.

Kedua, segera proaktif untuk mengusut tuntas penyebab hilangnya nyawa 4 ABK Indonesia yang diduga mengalami perlakukan dan kondisi kerja buruk di sejumlah kapal berbendera Tiongkok milik perusahaan Dalian Ocean Fishing Co., Ltd yang juga diduga melakukan kegiatan perikanan ilegal dan bentuk-bentuk praktik kerja paksa dan perbudakan modern di laut.

Ketiga, segera ratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan [3] dan menuntaskan ego sektoral lintas kementerian/lembaga yang menyebabkan penetapan aturan pelaksana terkait perekrutan dan penempatan ABK hingga saat ini mengalami keterlambatan.

SPPI, SBMI, PPI dan Greenpeace Indonesia juga menyampaikan terima kasih atas dukungan berbagai pihak sehingga kasus-kasus yang dialami oleh ABK Indonesia ini menjadi perhatian dunia dan keprihatinan bersama komunitas internasional.*

Exit mobile version