Indonesia Kekurangan Ahli Taksonomi Kelautan

Keanekaragaman hayati laut Indonesia. FOTO: DARILAUT.ID

Darilaut – Indonesia memiliki jumlah dan nilai keanekaragaman hayati laut dan pesisir yang begitu kaya. Namun, hingga saat ini masih kekurangan ahli taksonomi kelautan atau ahli biologi yang tertarik melakukan kajian tentang keanekaragaman hayati pesisir dan laut.

Karena itu, kolaborasi penelitian bersama luar dan dalam negeri di kawasan ini adalah salah satu solusinya dan sangat penting. Kolaborasi dan kerja sama masih dibutuhkan, Indonesia sangat terbuka akan kerja sama penelitian internasional.

Menurut Menteri Riset dan Teknologi/ Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/ Kepala BRIN), Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, riset bukan hanya untuk kepentingan ilmiah, namun juga untuk melindungi biodiversitas pesisir dan kelautan dari kepunahan.

“Kolaborasi adalah salah satu solusi yang sangat penting mengingat kurangnya ahli taksonomi kelautan di Indonesia, dan Indonesia sangat terbuka akan hal ini,” kata Bambang, dalam International Symposium on Coastal and Marine Biodiversity (ISCOMBIO) 2020: Status Terkini dan Masa Depan Biodiversitas Laut dan Pesisir Indonesia sebagai Harta Karun Nasional untuk Kesejahteraan Umat Manusia dan Pelestarian Alam, yang diselenggarakan secara daring, Kamis (17/9).

Peran penting kolaborasi riset dan pemanfaatan fasilitas infrastruktur penelitian, seperti Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang berada di Ambon, Maluku.

“Pemanfaatan infrastruktur riset laut dalam yang dimiliki LIPI sangat berperan penting. Saya harap, LIPI dapat terus memperluas jaringan dan kolaborasi dalam riset pengelolaan kekayaan hayati laut Indonesia,” ujar Bambang seperti dikutip dari Lipi.go.id.

Penelitian keanekaragaman hayati pesisir dan laut perlu ditingkatkan untuk kepentingan keilmuan, serta demi melindungi hilangnya ekosistem pesisir dan keanekaragaman hayati di laut.

Sebagai pusat biodiversitas laut, Indonesia pun menjadi wilayah yang paling terancam kelestarian biodiversitasnya akibat perubahan iklim global.

Perubahan iklim, menurut Bambang, akan menyebabkan kondisi laut mengalami peningkatan suhu dan keasaman dan anomali salinitas. Selain itu, dan penurunan kadar oksigen yang dapat berpengaruh signifikan pada penurunan jumlah dan kualitas hayati laut, oleh karena itu upaya perlindungan harus dimulai dari sekarang.

Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan lebih dari 70 persen wilayahnya merupakan area kelautan. Indonesia juga terletak di kawasan segitiga terumbu karang atau Coral Triangle Area.

Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, yakni 90.000 km, setelah Kanada.

Saat ini Indonesia tercatat memiliki 16 spesies seagrass, 2118 spesies reef fish dan 590 spesies stony corals. Indonesia juga memiliki 45 spesies mangrove (tumbuhan sejati), 782 spesies macroalgae, 850 spesies sponges, 2.500 moluska, 1500 krustase, 745 spesies echinoderms dan masih banyak lagi.

Dalam siaran pers Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional, Kamis (17/9), sebagai negara kepulauan, perairan laut Indonesia meliputi 20 persen total ekosistem terumbu karang dunia.

Kemudian, terdapat 5 persen ekosistem padang lamun, dan 20 persen ekosistem hutan mangrove, serta dikelilingi oleh berbagai ekosistem laut tropis termasuk laguna, teluk, selat, laut terbuka, laut dalam.

Ekosistem laut dan pesisir Indonesia merupakan yang terbesar di dunia dan merupakan habitat bagi 75 persen spesies terumbu karang dan 37 persen spesies ikan dunia.

Bambang mengatakan, kehidupan laut begitu misterius dan banyak yang belum tergali dan terpetakan. Perkembangan sains dan teknologi dibidang kelautan dan kemaritiman masih rendah, jika dibandingkan dengan wilayah daratan.

Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko, mengatakan, komitmen LIPI untuk terus berkontribusi dalam upaya penelitian, pelestarian dan pengelolaan ekosistem, dan keanekaragaman hayati laut dan pesisir Indonesia.

“LIPI berkomitmen untuk mendukung riset, pengembangan dan pengelolaan biodiversitas pesisir dan laut Indonesia dengan meningkatkan fasilitas dan infastruktur riset kelautan yang juga akan terus kita buka untuk dapat digunakan oleh publik,” kata Handoko.

Biodiversitas laut dan pesisir Indonesia yang begitu kaya, saat ini belum diiringi dengan eksplorasi, pengelolaan, dan pemanfaatan yang maksimal. Dalam hal ini, kolaborasi riset merupakan salah satu langkah yang sangat penting dan dibutuhkan.

Menurut Handoko, masih banyak biodiversitas laut dan pesisir yang belum tereksplorasi. Kolaborasi para ahli baik nasional maupun internasional sangatlah penting untuk mendorong kajian ilmiah dan mendiskusikan persoalan kelautan, serta meningkatkan kemampuan dan pengetahuan yang diperlukan dalam pengelolaan biodiversitas laut dan pesisir.*

Exit mobile version