Darilaut – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meluruskan informasi yang beredar di media sosial, perihal penyebab banjir besar di Kalimantan Selatan.
Hal ini dilakukan agar tidak terjadi simpang siur informasi di tengah bencana yang dirasakan masyarakat, sekaligus memberi rekomendasi yang tepat bagi para pengambil kebijakan, khususnya pemerintah daerah dalam mitigasi bencana.
“Kejadian banjir ini berdampak terhadap 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan, dengan 3 wilayah diantaranya terdampak cukup besar yaitu Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Tanah Laut,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK, MR Karliansyah, saat media briefing virtual, Selasa (19/1).
Banjir terjadi di sepanjang DAS Barito, yang meliputi Daerah Tangkapan Air (DTA) Barabai, DTA Riam Kiwa dan DTA Kurau.
Pada lokasi ini, infrastruktur ekologis yaitu jasa lingkungan pengatur air sudah tidak memadai, sehingga tidak mampu lagi menampung aliran air yang masuk.
Menurut Karliansyah, penyebab utama banjir karena terjadi anomali cuaca dengan curah hujan sangat tinggi. Selama lima hari dari tanggal 9-13 Januari 2021, terjadi peningkatan 8-9 kali lipat curah hujan dari biasanya.
Air yang masuk ke sungai Barito sebanyak 2,08 milyar m3, sementara kapasitas sungai kondisi normal hanya 238 juta m3,” kata Karliansyah.
Daerah banjir berada pada titik pertemuan 2 anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander serta fisiografi berupa tekuk lereng (break of slope), sehingga terjadi akumulasi air dengan volume yang besar.
Faktor lainnya, kata Karliansyah, yaitu beda tinggi hulu-hilir sangat besar, sehingga suplai air dari hulu dengan energi dan volume yang besar menyebabkan waktu konsentrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir.
Untuk itu, KLHK memberikan rekomendasi kepada Pemda dan stakeholder lainnya, yaitu pembuatan bangunan Konservasi tanah dan air (sumur resapan, gully plug, dam penahan) terutama pada daerah yang limpasannya ekstrim.
Selain itu, mempercepat dan memfokuskan kegiatan RHL di daerah sumber penyebab banjir, dan pembuatan bangunan-bangunan pengendali banjir.
”Perlu terobosan-terobosan terkait dengan konservasi tanah dan air, terkait dengan lansekap yang tidak mendukung. Serta pengembangan kebijakan konservasi tanah dan air, dan pengembangan sistem peringatan dini. Beberapa rekomendasi ini telah dijalankan dengan baik bersama Pemda,” kata Karliansyah.
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, Belinda Arunarwati Margono mengatakan, sistem pemantauan hutan, peta tutupan lahan Kalimantan periode 1990 hingga 2019, dan analisis penurunan luas hutan DAS Barito di Kalimantan Selatan.
Hasil analisis menunjukan bahwa penurunan luas hutan alam DAS Barito di Kalsel selama periode 1990-2019 adalah sebesar 62,8 persen, dengan penurunan hutan terbesar terjadi pada periode 1990-2000 yaitu sebesar 55,5 persen.
“Sebagai pemegang mandat pemantauan sumberdaya hutan, data yang ada ini riil, dan bukan prediksi atau estimasi seperti di medsos yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” kata Belinda.
Belinda mengatakan untuk mendapatkan gambaran secara holistik tentang penyebab banjir, perlu dilakukan kajian untuk keseluruhan DAS utama di wilayah banjir. Kajian dilakukan terutama pada DAS Barito yang merupakan DAS utama, dengan perhatian khusus pada wilayah hulu DAS.
DAS Barito dengan luas total lebih kurang 6,2 juta ha melintasi empat provinsi yaitu Kalteng, Kalsel, Kaltim, dan Kalbar. Untuk luasan DAS Barito di Provinsi Kalimantan Selatan sendiri seluas lebih kurang 1,8 juta hektar atau setara 29 persen.
Berdasarkan data Ditjen PKTL KLHK Tahun 2019, kondisi hulu DAS Barito 80,8 persen tutupan hutan dengan proporsi 79,3 persen tutupan hutan alam dan sisanya 1,4 persen adalah hutan tanaman. Dari 19,3 persen tutupan bukan hutan alam, terdiri dari mayoritas semak belukar dan pertanian campur.
Kemudian, seluas 94.5 persen dari total wilayah Hulu DAS merupakan Kawasan Hutan, dengan 83,3 persen tutupan hutan alam dan sisanya 1,3 persen adalah hutan tanaman.
Sementara 15,4 persen tutupan bukan hutan alam yaitu mayoritas semak belukar dan pertanian campur.
DAS Barito di Kalsel memiliki proporsi 39,3 persen kawasan hutan dan 60,7 persen Areal Penggunaan Lain (APL). Khusus untuk kawasan hutan yakni seluas 718.591 Ha, sebanyak 43,3 persen arealnya berhutan, dan 56,7 persen tidak berhutan.
“DAS di sini ini memang didominasi lahan untuk masyarakat atau disebut Areal Penggunaan Lain yang bukan merupakan Kawasan Hutan,” katanya.
Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS (PEPDAS) KLHK M. Saparis Soedarjanto mengatakan pihaknya terus berupaya untuk mengurangi areal tidak berhutan melalui revegetasi atau penanaman pohon khususnya pada areal lahan kritis.
Menurut Saparis rehabilitasi DAS di Kalsel sangat massif dilakukan. Data kegiatan rehabilitasi dengan penanaman pohon tahun 2019-2020 di DTA Banjir Kabupaten Tanah Laut (DTA Kurau) seluas 155 ha, di DTA Riam Kiwa seluas 4.341 hektar, dan di DTA Barabai seluas 395,5 ha. Karena baru massif dilakukan beberapa tahun terakhir, mungkin belum terlihat jelas di peta, tapi nanti beberapa tahun lagi akan terlihat.
Kegiatan rehabilitasi di Kalsel juga termasuk yang intensif dan sistematis dilakukan bersama dengan kebijakan pemerintah daerah. Upaya lain untuk pemulihan lingkungan dilakukan dengan memaksa kewajiban reklamasi atas izin-izin tambang.
Komentar tentang post