Gorontalo – Puluhan pekerja perikanan asal Gorontalo mengalami perbudakan di Korea Selatan. Mereka dipaksa bekerja nonstop, tidak diberi upah dan mengalami kekerasan.
Di laman Pemerintah Provinsi Gorontalo, salah satu Tenaga Kerja Indonesia Isak Lahasan mengatakan, mereka tidak pernah diberi upah. TKI ini juga dipaksa bekerja non stop, tidak seperti yang tercantum dalam kontrak, yakni 8 jam sehari.
Para TKI ini mulai bekerja di kapal ikan sejak 26 Agustus 2018. Selama itu, mereka kerap menjadi korban kekerasan.
Selama di Korea Selatan, para pekerja diberi makanan babi. Padahal, sudah disampaikan kepada agen di Korea, mereka tidak bisa makan babi. Tapi setiap hari menu yang disajikan itu saja.
“Kami sudah sampaikan ke agen Korea, kami muslim, tidak bisa makan babi. Tapi tiap hari tetap itu juga,” kata Isak.
Selama di Korea Selatan, mereka bertahan hidup dengan makan nasi dan air. Air yang diminum pun dari keran kamar mandi.
Pada 12 Oktober 2018, mereka melakukan perlawanan. Bersama 24 pekerja lain asal pulau Jawa dan Sulawesi Utara, memaksa pihak kapal untuk mengantarkan mereka ke pelabuhan.
Selanjutnya, pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia di Korea Selatan memfasilitasi kepulangan para pekerja ini ke tanah air melalui bandara Busan. Tiba di Jakarta, mereka ditampung di asrama Mahasiswa Gorontalo di Jalan Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Pihak Badan Penghubung Pemerintah Provinsi Gorontalo memberikan pendampingan selama di Jakarta.
Pada Rabu (17/10), sebanyak enam pekerja perikanan tiba di Gorontalo. Mereka disambut Gubernur Gorontalo Rusli Habibie di rumah jabatan. Gubernur menjamu makan siang, sekaligus mendengarkan langsung suka duka mereka selama dua bulan sebagai pekerja perikanan.
Delapan pekerja perikanan lainnya dipulangkan Kamis (18/10) ke Gorontalo.
Kasus perbudakan anak buah kapal perikanan di Korea Selatan bukan baru kali ini saja terjadi.
Di laman Serikat Buruh Migran Indonesia, sejumlah buruh migran yang bekerja di kapal perikanan mengalami perbudakan di Korea Selatan. Mereka masih jauh dari kondisi kerja layak, upah dan hidup layak.
Sebelumnya, kesaksian enam warga Indramayu Jawa Barat, mengkonfirmasi perbudakan yang dialami oleh buruh migran di kapal perikanan di beberapa negara tujuan penempatan.*
Komentar tentang post