Darilaut – Ilmuwan dunia mencatat sejak tahun 1980 sampai sekarang, terjadi peningkatan suhu naik dan tidak pernah turun lagi.
Dari sinilah para ilmuwan kemudian menemukan bahwa konsentrasi CO2 menjadi jawaban atas tidak menurunnya temperatur global tersebut.
Peneliti Ahli Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi nasional (BRIN) Erma Yulihastin menjelaskan sejak saat itu manusia tidak berada lagi pada ranah variabilitas iklim, melainkan ranah perubahan iklim.
Perkiraan pemanasan global sampai dengan Februari 2023 adalah 1,21 derajat Celsius. Karena sudah berada didomain perubahan iklim, maka tidak akan pernah ada lagi penurunan dan itulah yang ingin diredam untuk memperlambat laju kenaikannya, kata Erma yang juga Doktor Sains Kebumian lulusan ITB.
Sejak tahun 1880 hingga tahun 1979 pada rentang waktu yang sangat panjang tersebut, suhu Bumi tidak pernah mengalami anomali positif dengan tren yang terus meningkat.
Anomali suhu global di atmosfer saat itu negatif atau mendingin dalam rentang waktu yang sangat lama.
Mulai tahun 1940 anomalinya berubah positif setelah itu negatif lagi, kemudian naik sedikit positif lagi lalu mendingin lagi. Inilah yang dinamakan dengan Natural Variability Climate, kata Erma, dalam seminar nasional bertajuk “Memperkuat Pentahelix Penanggulangan Bencana dalam Membangun Resiliensi Masyarakat” yang diselenggarakan oleh UHAMKA secara online, Sabtu, (1/4).
Erma mengatakan setiap wilayah merespon perubahan iklim dengan berbeda-beda. Parameter apa yang paling sensitif berubah dan daerah mana yang paling sensitif adalah yang harus dipetakan.
“Kami di BRIN melakukan kajian itu sehingga pertama yang ingin kami lihat itu indikasinya kalau ada perubahan iklim berarti ada perubahan pola musim dan pola cuaca, itu yang ingin kami deteksi, itu yang ingin kami kaji,” ujarnya.
Selain perubahan musim yang telah terjadi di Indonesia selama dua dekade terakhir, indikasi perubahan iklim juga dapat ditunjukkan dengan pola cuaca yang mengalami perubahan karena tak lagi sesuai dengan tipe-tipe cuaca berdasarkan musim.
Akibatnya, pola cuaca ekstrem pun berubah. Cuaca ekstrem ditunjukkan melalui frekuensi hujan ekstrem yang kerap terjadi di wilayah Indonesia khususnya untuk wilayah Sumatera Selatan, Lampung, Jawa bagian barat dan tengah.
Sementara itu, untuk wilayah Jawa bagian timur, Lombok, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), hujan ekstrem meningkat selama musim kemarau.
Selain itu, cuaca ekstrem mengalami eskalasi skala spasial yang semakin luas dan skala temporal yang lebih panjang sehingga membangkitkan kejadian ekstrem (extreme event) di atmosfer sehingga skala dampak yang ditimbulkan pun menjadi masif dan luas.
Menurut Erma, terdapat perbedaan antara cuaca ekstrem dan kejadian ekstrem. Cuaca ekstrem biasanya terjadi untuk skala yang lokal di suatu wilayah tertentu dan memiliki durasi kejadian yang singkat, kurang dari sejam atau maksimal sekitar dua hingga tiga jam.
Kejadian ekstrem secara waktu lebih lama karena memiliki setidaknya dua ciri: persisten atau bertahan lama dan sustain atau terus berlanjut. Secara skala spasial pun lebih luas karena mengacu pada gangguan cuaca skala sinoptik dalam rentang skala spasial ratusan hingga ribuan kilometer.
Selan itu, dampak merusak dari suatu kejadian ekstrem bersifat katastropik atau massal, dapat menelan korban ratusan bahkan ribuan jiwa.
Kajian terbaru yang dilakukan oleh tim di BRIN menunjukkan, kejadian ekstrem ini mengalami peningkatan karena faktor-faktor penyebabnya semakin intensif terjadi di Indonesia.
Studi tersebut menjelaskan mengenai mekanisme terbentuknya cikal bakal bibit Siklon Seroja yang tumbuh dari badai vorteks intensif selama 10 hari di perairan Banda, dan berlanjut terus menjadi siklon Seroja dan menelan korban 181 orang meninggal di Flores, NTT, pada 4 April 2021.
Mekanisme terbentuknya siklon Seroja ini ditunjukkan dalam studi dari tim di BRIN memiliki frekuensi selama dua tahun sekali. Hal ini cukup mengejutkan karena studi sebelumnya mengonfirmasi peluang siklon terbentuk di dekat ekuator hanya 100 400 tahun sekali (Chang, 2003).
Kajian dari tim di BRIN tersebut dinyatakan diterima pada 1 April 2023 jurnal international Natural Hazards berjudul: Evolution of Double Vortices Induced Seroja Tropical Cyclogenesis over Flores, Indonesia.
Komentar tentang post