Darilaut – Koordinator Gempa bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan Sulawesi memiliki lebih dari 45 segmen sesar aktif. Para ahli kebumian telah mempelajari karakteristik wilayah Sulawesi.
BMKG juga telah memiliki catatan gempa bumi berulang dengan periode waktu berbeda. Bahkan tercatat dua kali tsunami terjadi yang dipicu oleh fenomena gempa.
“Terjadinya gempa merusak di Majene bukan hal aneh. Secara tektonik, wilayah pesisir dan lepas pantai Sulawesi Barat terletak di zona jalur lipatan dan sesar atau fold and thrust belt,” ujar Daryono, dalam webinar pembelajaran gempa Sulawesi Barat, Senin (1/2).
Webinar ini dengan moderator Plt. Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari yang melibatkan sejumlah narasumber.
Fenomena gempa bumi yang terjadi di wilayah Sulawesi Barat merupakan kejadian berulang.
Menghadapi potensi bahaya gempa, kekuatan bangunan sangat penting untuk dievaluasi dan diperkuat. Sehingga aman bagi para penghuni yang memanfaatkan bangunan yang masih berdiri pascagempa Magnitudo 6,2.
Secara khusus, wilayah Majene dan Mamuju pernah terdampak gempa secara berulang dengan periode waktu berbeda.
Daryono mengatakan fenomena gempa di wilayah itu tercatat sejak 1967. Historis gempa merusak dan pernah terjadi tsunami, antara lain gempa Majene M 6,3 pada 1967.
Kemudian 23 Februari 1969 dengan magnitudo 6,9. Dua kejadian ini memicu terjadinya tsunami. Total lebih dari 100 warga meninggal dunia pada dua peristiwa tersebut.
Selanjutnya gempa Mamuju M 5,8 pada 6 September 1972, gempa Mamuju M 6,7 pada 8 Januari 1984, dan kejadian sebelum kejadian kemarin yaitu pada 7 November 2020, Rangkaian gempa ini bersifat merusak.
Lalu, gempa Majene yang terjadi pada dua hari berurutan yaitu 14 Januari 2021 dengan M 5,9 dan 15 Januari 2021 dengan M 6,2.
Pascagempa M6,2 BMKG mencatat hingga Senin 1 Februari 2021, telah terjadi 39 kali gempa susulan.
“Total jumlah gempa sejak terjadi gempa pembuka tercatat 48 kali dengan gempa dirasakan sebanyak 10 kali,” ujar Daryono.
Dilihat dari sisi kerusakan bangunan, gempa awal tahun ini sangat merusak. Namun demikian tampak titik-titik kerusakan tersebar tidak merata.
Analisis kerusakan pada bangunan tampak ada kerusakan, seperti pada area sambungan balok kolom dan dilatasi.
Dilatasi merupakan sambungan atau pemisahan pada bangunan, yang berfungsi menghindari terjadinya keretakan atau putusnya sistem struktur bangunan apabila terjadi beban pada bangunan.
Menurut ahli geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Benyamin Sapiie, kabupaten Majene dan Mamuju merupakan daerah aktif deformasi berupa lipatan anjakan, yang melibatkan batuan dasar dan memperlihatkan keaktifan gempa tinggi.
“Gempa Mamuju yang terjadi juga diakibatkan oleh aktivitas sesar naik pada zona fold-thrust-belt di bawah permukaan yang melibatkan batuan dasar, yang merupakan bagian dari zona FTB Sulawesi Barat,” katanya.
Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB Iswandi Imran mengatakan faktor kerusakan bangunan tertentu dipengaruhi acuan terhadap building code yang mengacu pada SNI 2002 atau sebelumnya.
Menurut Iswandi, seismic detailing yang terpasang kemungkinan besar tidak memadai untuk zona gempa tinggi.
Seismic detailing biasanya diperhatikan dalam struktur bangunan, khususnya pada bagian balok dan kolom untuk mempertahankan kekuatan apabila terjadi guncangan.
Imran mengatakan, strategi jangka panjang untuk mitigasi risiko pada bangunan yang ada perlu dikaji ulang serta diretrofit agar dapat menahan kejadian gempa besar yang mungkin terjadi.
“Perlu disusun peta kerentanan atau risiko bangunan, khususnya bangunan hunian, di wilayah Sulbar,” ujarnya.
Perancangan bangunan baru, kata Imran, agar dilakukan secara konsisten dengan mengacu pada SNI gempa dan SNI detailing terkini. Ini akan berpengaruh terhadap dampak, baik korban jiwa maupun kerusakan bangunan.
Untuk jangka pendek, kata Imran, perlu disepakati level hazard gempa relevan, yang dapat digunakan untuk mengevaluasi bangunan-bangunan penting eksisting. Khususnya yang direncanakan berdasarkan SNI 2002.
Hal ini perlu dilakukan dalam masa tanggap darurat mengingat bangunan yang ada kemungkinan belum diberi seismic detailing yang memadai pada zona gempa tinggi.
Komentar tentang post