Risiko Pemimpin
Sumpah pada penobatan diatas sangatlah keras. Sebab, sumpah itu berjangkar pada “Adati Hulahulaa To Saraa, Saraa Hulahulaa To Quruani“.
Hal tersebut berarti bahwa pemimpin di Gorontalo bukan saja pemimpin politik dan pemimpin administratif, tetapi juga sekaligus pemimpin adat serta pemimpin spiritual.
Sebagian orang menyangka bahwa keterpilihan di Pilkada secara elektoral dan dilantik secara administratif sesuai konstitusi adalah basis legitimasi untuk memimpin di Gorontalo. Tentu saja, hal tersebut tidak sesedehana yang dibayangkan.
Di Gorontalo, leluhur telah memaku, mengikat dan menancapkan patok adat yang dilandasi agama dalam penyelenggaraan kekuasaan. Paku dan patok tersebut adalah janji dan sumpah dalam tradisi molo’opu. Sehingga bagi setiap pemimpin, janji sesuai konstitusi (ketentuan perundangan-undangan yang berlaku) harus diikuti janji secara adat dan agama.
Konsekuensi dari pelanggaran konstitusi bersifat pidana, perdata atau paling buruk dimakzulkan. Tetapi pelanggaran terhadap sumpah adat dan agama, konsekuensinya sangat berat.
Dalam bahasa adat Gorontalo, hukum disebut ‘buto’o‘. Jika melanggar hukum akan dikenai obuto’a. Maka biasa banyak kita dengar istilah ‘buta’o ombongo‘ atau perut terbelah. Hal itu adalah konsekuensi biologis yang diterima secara privat oleh pemimpin. Belum konsekuensi untuk keluarganya dan turunannya hingga risiko bagi rakyat.