Darilaut – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggagas pembentukan Pusat Koordinasi Multi Bahaya (Hazard) di Kawasan Asia Tenggara.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan tidak hanya Indonesia, semua negara di kawasan Asia Tenggara juga menghadapi situasi yang sama di mana bencana yang menghantam terjadi begitu banyak dan dalam waktu bersamaan.
“Frekuensi kejadiannya pun semakin sering dengan intensitas meningkat dan durasinya makin lama,” ujar Dwikorita di Labuan Bajo, Kamis (11/5).
Gagasan pusta koordinasi tersebut disampaikan BMKG dalam pertemuan “AEIC Strategic Meeting Forum” secara daring disela-sela agenda KTT ASEAN ke-42. Ini merupakan respon terhadap semakin kompleksnya fenomena multi-hazard yang juga berpotensi terjadi di kawasan ASEAN.
Dalam pertemuan tersebut, dihadiri Perwakilan Malaysia, Timor Leste, Myanmar, dan Philipina, serta Kementrian Luar Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI), dan IOTIC-UNESCO. Selain itu, pakar kebencanaan dari Institute Teknologi Bandung, Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Strategic meeting tersebut diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang dapat disampaikan pada pertemuan level Pimpinan KTT ASEAN.
Dwikorita mengatakan BMKG selaku institusi yang mengoperasikan ASEAN Earthquake Information Center (AEIC) memandang perlunya memformulasikan rencana strategis di kawasan untuk mengantisipasi berbagai ancaman bencana tersebut.
Menurut Dwikorita kesamaan kompleksitas latar belakang tataan tektonik dan lokasi geografik di kawasan ASEAN, sangat mungkin menjadikan seluruh wilayah negara ASEAN memiliki potensi multi-hazard.
Kejadian bencana geologi bersamaan dengan kejadian bencana hidrometeorologi, atau yang dikenal sebagai bencana Geo-Hidrometeorologi.
Isu ini, kata Dwikorita, harus mendapat perhatian semua kepala negara ASEAN, karena dari pengalaman yang sudah-sudah, kejadian gempa bumi dan tsunami yang komplek dan menimbulkan banyak korban jiwa, justru terjadi pada saat sistem peringatan dini bahkan Standar Operasional Prosedur (SOP) belum disiapkan. Akibatnya kita tidak dapat meminimalisir dampak dari bencana tersebut.
Pembentukan entitas koordinasi terkait multi-hazard kawasan ASEAN sangat mendesak untuk dilakukan, beserta konsep dan strateginya, karena tidak ada yang dapat mengetahui, kapan bencana tersebut terjadi.
Entitas ini, menurut Dwikorita, merupakan bantuk mitigasi bersama negara-negara di Kawasan Asia Tenggara yang memiliki banyak kesamaan.
“Gempa yang terjadi di Turki beberapa waktu lalu menjadi peringatan buat semua negara-negara yang rawan bahwa bencana seperti itu bisa terjadi kapan saja dengan dampak yang lebih buruk jika tidak segera dilakukan upaya mitigasi secara komprehensif,” ujarnya.
Ketua Ikatan Ahli Bencana Indonesia yang juga ahli dari ITB, Harkunti, mengatakan negara-negara ASEAN melalui AEIC diharapkan dapat mengimplementasikan dua tujuan dari UN DECADE OCEAN SCIENCE, yaitu dimana pada Tahun 2030, 100% komunitas yang berada di wilayah berisiko tsunami harus memiliki kapasitas kesiapsiagaan dan resiliensi terhadap tsunami sekaligus memastikan peringatan dini yang “actionable” sehingga respon dini juga dapat segera dilakukan.
“Jadi, baik Early Warning dan Early Action dapat diimplentasikan dengan baik ” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, perwakilan Filipina Ishmael Narag mengatakan, bahwa seluruh member AEIC harus bekerja sama dan berkolaborasi untuk menghadapi tantangan bumi kekinian.
Tidak hanya terkait pada penguatan sistem pendukung monitorin AEIC, tetapi juga kerja sama saintifik, melakukan riset bersama, agar penguatan kapasitas keilmuan dari negara-negara anggota AEIC akan semakin meningkat, kata Ishmael Narag.
Komentar tentang post