Darilaut – Seekor buaya berkalung ban di Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, menjadi sorotan media massa dan ramai diperbincangkan di media sosial, Februari hingga Maret lalu. Buaya ini menjadi tontonan warga yang melintas di Sungai Palu.
Berbagai upaya dilakukan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sulawesi Tengah, untuk mengeluarkan ban bekas tersebut.
Operasi gabungan digelar dengan personel BKSDA Sulawesi Tengah, BBKSDA Nusa Tenggara Timur dan Pol-Air Polda Sulawesi Tengah.
Dua ahli buaya Australia bekerjasama dengan BKSDA untuk menangkap buaya tersebut. Namun gagal. Kerjasama dilanjutkan dengan Forrest Galante.
Untuk menangkap buaya ini cukup sulit, karena berpindah-pindah. Padahal, sudah empat tahun, buaya terlilit ban bekas.
Upaya penyelamatan buaya ini terhenti karena pandemi virus corona, penyebab penyakit Covid-19.
Indonesia memiliki beragam jenis buaya. Setidaknya, tercatat 4 spesies buaya yang hidup di sungai-sungai, muara dan danau di Indonesia.
Ke 4 jenis buaya tersebut menurut KLHK, masing-masing Crocodylus novaeguneae, Tomistoma schlegelii, Crocodylus raninus dan Crocodylus porosus.
Terdapat 1 sub spesies hasil kawin silang di penangkaran, disebut Crocodylus porosus minikanna. Namun tidak diakui secara resmi.
Spesies Crocodylus porosus umum ditemukan di seluruh nusantara, dikenal dengan nama buaya muara. Buaya ini memang tinggal di wilayah pertemuan sungai dan laut jadi bisa hidup di air asin dan tawar.
Spesies Crocodylus novaeguneae dikenal hidup di perairan tawar pedalaman Papua. Jenis buaya irian ini mirip buaya muara, tapi lebih kecil dan warnanya lebih gelap.
Spesies Tomistoma schlegelii atau buaya senyulong tersebar di pulau Sumatera dan Kalimantan. Ukuran tubuhnya lebih kecil dan pendek, serta bentuk moncongnya runcing dan sempit.
Spesies Crocodylus raninus, jenis ini disebut buaya kalimantan. Ciri-cirinya mirip dengan buaya muara.
Ke 4 jenis buaya ini dilindungi berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta Permen LHK nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/ 2018. Karena dilindungi, maka tidak dibenarkan untuk dilakukan perburuan.
Sejak dulu manusia berburu satwa liar, termasuk buaya. Di sisi lain, keberadaannya di alam sering dipandang sebagai ancaman terhadap manusia.
Dari 4 jenis, buaya muara yang paling kerap diburu. Ini lantaran bagian-bagian tubuhnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Antara lain berupa daging, kulit, lemak, empedu, tangkur, gigi dan kuku.
Daging buaya muara dapat digunakan sebagai sumber protein yang tinggi. Bagian kuku dan gigi dari buaya muara dapat dijadikan sebagai asesoris. Bagian empedu, tangkur dan lemaknya dapat dijadikan untuk obat tradisional.
Kulit buaya muara juga digunakan sebagai bahan kerajian tangan untuk membuat tas, ikat pinggang, jaket, sepatu, sandal, dompet, koper.
Berdasarkan regulasi yang ada, pemanfaatan semua jenis buaya di Indonesia harus mendapatkan ijin dari KLHK.
Dari tahun ke tahun permintaan terhadap buaya muara terus meningkat. Itu sebabnya, buaya ini terancam punah.
Selain perburuan, ancaman utama satwa liar ini adalah rusaknya habitat tempat mereka hidup dan berkembang biak.
Terdapat perbedaan jenis kelamin buaya jantan dan betina. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan bentuk ekor.
Umumnya buaya jantan berekor tegak, sementara buaya betina berekor rebah. Buaya muara memiliki warna kulit coklat kotor sampai hitam dengan bentuk kepala yang lonjong dan bentuk moncong yang bervariasi menurut umur dan ukuran tubuh.
Klasifikasi Buaya Muara
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Reptilia
Sub kelas: Archosauria
Ordo: Crocodylia
Famili: Crocodylidae
Sub famili: Crocodylinae
Genus: Crocodylus
Spesies: Crocodylus porosus (Schneider, 1801).*
Komentar tentang post