Oleh: Dr Lis M Yapanto, S.Pi, MM
MASIH jelas di ingatan banyak orang tentang bagaimana meriahnya malam tahun baru 2020 lalu. Banyak masyarakat yang merayakan malam pergantian tahun dengan berkumpul bersama sanak saudara, teman, sahabat, dan orang terkasih.
Perjalanan keluar masuk sebuah kota atau sebuah negara pun menjadi hal yang lumrah di setiap pergantian tahun. Perjalanan darat, laut, dan udara memegang peranan esensial dalam perpindahan manusia.
Perpindahan manusia ini dengan sendirinya menaikkan omset pada dunia wisata. Mulai dari tingkat hunian hotel, jumlah wisatawan yang berkunjung ke tempat wisata untuk bersama-sama merayakan kegembiraan, sampai ke kegiatan ekonomi pendukung seperti kuliner, hiburan, dan bisnis travel.
Tetapi hanya dalam jangka waktu tiga bulan dari pergantian tahun itu tepatnya di bulan Maret 2020 ketika diumumkan wabah Corona masuk ke Indonesia, banyak sektor industri di Indonesia yang terkena dampak. Salah satu sektor yang terkena hantaman keras adalah sektor pariwisata, baik di seluruh dunia atau di tanah air.
Dunia Pariwisata Bergantung pada Perpindahan Manusia
Menurut A.J. Buckart dan S. Medlik dalam Muhammad Ilyas (2009), pariwisata memiliki arti perpindahan orang untuk sementara waktu dan dalam jangka waktu pendek ke tujuan-tujuan di luar tempat dimana mereka biasanya hidup dan bekerja, dan kegiatan-kegiatan mereka selama tinggal di tempat-tempat tujuan tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia wisata mengandalkan perpindahan manusia dari satu daerah ke daerah lain. Sebagai contoh adalah misalkan ada sebuah keluarga yang berasal dari Jakarta yang ingin travelling ke Bali maka mereka akan melakukan perpindahan tempat.
Banyak aktivitas ekonomi yang dilakukan mulai dari rumah sampai ke tempat penginapan mereka di Bali. Mulai dari transaksi taksi online menuju bandara, perjalanan terbang dengan membayar tiket, kemudian transportasi menuju hotel dan biaya reservasi hotel selama mereka berkunjung ke Bali.

Salah satu informasi mengenai parahnya dampak ekonomi terhadap dunia wisata lokal didapat dari wawancara media online Bisnis.com bersama Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia IGA Rai Suryawijaya yang membandingkan kondisi Bali saat ini dengan kondisi saat terjadi penurunan wisata karena tragedi Bom Bali yang pernah terjadi.
Ia mengatakan bahwa kondisi wisata Bali saat ini karena imbas Covid-19 jauh lebih buruk dari efek Bom Bali I dan II yang menurunkan tingkat hunian “hanya” 20 persen. Sedangkan kondisi wisata Bali saat ini bila dilihat dari tingkat hunian hotel mencapai zero (nol).
Pelaku industri wisata ini melibatkan bukan hanya pengusaha hotel dan travel besar tetapi juga kepada sektor turunannnya yang bersifat informal. Mulai dari pelaku hiburan seperti para seniman baik seni rupa atau seni musik yang selama ini mengandalkan penjualan karya mereka kepada wisatawan yang masuk, penyedia jasa guide sampai kepada usaha kecil penyewaan sepeda motor.
Bukan hanya Bali yang terkena dampaknya. Kota-kota tujuan wisata lainnya yang ada di Indonesia pun terkena dampaknya. Yogyakarta misalnya yang mengandalkan pariwisata sebagai salah satu pemasukan daerah juga terkena dampak pandemi ini.
Jalan Malioboro yang selama ini ramai baik saat high season atau low season, saat ini menjadi sepi. Tidak ada yang berkunjung meramaikan trotoar Malioboro yang sudah di desain dengan sangat cantik itu. Secara kasat mata di ruas jalan Malioboro sendiri terdapat puluhan bahkan ratusan aktivitas jual-beli yang dapat terjadi. Namun saat ini mereka semua harus rehat sejenak karena perjalanan keluar kota pun saat ini dilarang dengan aturan PSBB yang diberlakukan pemerintah.
Walaupun menurut Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta penundaan dan pembatalan reservasi hotel baru mencapai dua persen, tetapi tentu saja tidak bisa dipungkiri bila transaksi ekonomi mengalami dampak yang cukup besar.
Menurut data yang didapat dari Dinas Pariwisata DIY, jumlah kerugian dari sektor pariwisata mencapai angka 81 Milyar. Data ini didapat dari pendataan yang dilakukan mulai dari bulan Maret sampai tanggal 16 April 2020.
Salah satu tempat wisata yang juga terkena hantaman keras salah satunya adalah Labuan Bajo. Lebih mirisnya lagi bahwa dampak itu sudah terasa bahkan sebelum adanya wabah Covid-19 yang masuk ke daerah ini.
Walaupun menurut data per tanggal 3 April 2020 provinsi yang masih “steril” dari Covid-19 adalah NTT dan Gorontalo, tak pelak industri pariwisata Labuan Bajo yang terletak di NTT terkena dampak ekonomi. Dampak menurunnya pendapatan pariwisata bahkan sudah dirasakan sejak pertengahan bulan Maret 2020.
Hotel dan restoran di wilayah Labuan Bajo dan sekitarnya terpaksa harus ditutup karena sepinya pengunjung. Bahkan Taman Nasional Komodo dinyatakan ditutup sejak tanggal 23 Maret-26 Mei dan ada kemungkinan diperpanjang bila situasi belum membaik.
Menurut data dari Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia Manggarai Barat, terdapat 111 restoran dan 102 hotel yang harus tutup dan otomatis berdampak pada 4.500 karyawan yang mencari rejeki di sektor ini.
Wilayah yang dikenal dengan wisata diving ini memang menggantungkan pemasukan daerah sebagian dari kegiatan wisata baik kunjungan dari wisatawan lokal maupun asing. Pemilik hotel,restoran, dan masyarakat di sekitar Labuan Bajo tentu berharap bahwa selain fokus kepada penanganan wabah ada program bantuan bagi masyarakat terdampak yang menggantungkan hidup dari sektor pariwisata.
Menurut salah satu pemilik restoran di Labuan Bajo, ada baiknya daripada memikirkan lockdown lebih baik ciptakan ketenangan di masyarakat dan fokus kepada edukasi mengenai kesehatan di masyarakat mengenai apa saja yang bisa mencegah penularan wabah. Sehingga sektor pariwisata dapat berjalan namun tetap memperhatikan faktor kesehatan dan keselamatan wisatawan serta penduduk sekitar.*
Bersambung
Dr Lis M Yapanto, S.Pi, MM adalah Dosen Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Manejemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Dan Kelautan Universitas Negeri Gorontalo
Komentar tentang post