Darilaut – Profesor Riset Astronomi – Astrofisika, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, mengatakan hisab masuknya awal bulan dapat ditentukan dengan adanya kriteria dalam penentuannya, dan perlu ada verifikasi untuk menghindari rukyat yang keliru.
Ini juga menjadi dasar dalam pembuatan kalender berbasis hisab yang dapat digunakan dalam prakiraan rukyat.
Adopsi kriteria juga menjadi perlu yang didasarkan pada dalil syar’i awal bulan dan hasil kajian astronomis yang sahih, dan pada akhirnya kriteria harus mengupayakan titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab, untuk menjadi kesepakatan bersama.
Hal ini sampaikan Prof Thomas dalam kegiatan Bimas Islam, Kementerian Agama, mengenai kajian hisab astronomi posisi hilal penentu awal Zulhijah 1443 H, Rabu (29/6).
Kegiatan ini dihadiri Wakil Menteri Agama, Ketua MUI, Imam Besar Masjid Istiqlal, dan Ormas-Ormas Islam.
Kajian Thomas tentang “Menuju Titik Temu Unifikasi Kalender Hijriyah dengan Kriteria Baru MABIMS”.
Sesuai kesepakatan pada 8 Desember 2021 antara Menteri Agama dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), kriteria baru tersebut sudah bisa diimplementasikan tahun 2022 ini.
Untuk terlihatnya hilal, kata Thomas, bukan hanya faktor posisi yang diperhitungkan. Tetapi juga harus diperhitungkan faktor cahaya hilal dan cahaya syafak (cahaya senja).
Dengan perkembangan astronomi, dari data pengalaman rukyat jangka panjang telah dirumuskan kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat), berupa persyaratan minimal untuk terlihatnya hilal.
Mengenai kecerlangan hilal, parameter yang digunakan adalah lebar sabit hilal, umur hilal, atau jarak sudut bulan-matahari (elongasi).
Kecerlangan cahaya syafak, parameter yang digunakan adalah tinggi hilal, beda tinggi bulan-matahari, beda azimut (jarak sudut bulan-matahari di garis ufuk), atau beda waktu terbenam bulan-matahari.
Dalam menyatukan kalender Islam, ada tiga prasyarat mapannya suatu sistem kalender, yaitu ada otoritas tunggal yang mengaturnya, ada kriteria tunggal yang disepakati, dan ada batas wilayah yang disepakati.
Kriteria elongasi 6,4 derajat didasarkan pada rekor elongasi terkecil pada publikasi Odeh (2004) dan data Caldwell dan Laney (2001). Parameter elongasi menggambarkan hilal paling tipis yang bisa diamati.
Dari data rukyat global, juga diketahui bahwa tidak ada kesaksian hilal yang dipercaya secara astronomis yang beda tinggi bulan-matahari kurang dari 4 derajat.
Karena pada saat matahari terbenam tinggi matahari -50’, maka beda tinggi bulan-matahari 4 derajat identik dengan tinggi bulan (4o -50’=) 3o 10’, dibulatkan menjadi 3o.
Potensi perbedaan bisa dilihat dari analisis garis tanggal pada saat maghrib 29 Juni 2022.
Di Indonesia, posisi bulan telah memenuhi kriteria Wujudul Hilal sehingga awal Dzulhijjah 1443 adalah 30 Juni 2022 (Idul Adha 9 Juli 2022).
Namun posisi bulan belum memenuhi kriteria baru MABIMS/RJ2017. Disimpulkan dengan kriteria RJ awal Dzulhijjah 1443 adalah pada hari berikutnya, yaitu 1 Juli 2021 (Idul Adha 10 Juli 2022). Hal ini akan diputuskan pada Sidang Isbat hari ini.
Thomas mengatakan kriteria Wujudul Hilal yang diamalkan Muhammadiyah dan kriteria lama MABIMS (2-3-8) yang diamalkan Nahdlatul Ulama perlu dicarikan titik temu yang lebih tinggi berdasarkan data astronomis.
Kriteria [3 – 6,4] juga mempertimbangkan lompatan agar tidak terlalu besar seperti kriteria Istanbul [5 – 8] atau kriteria Odeh yang menggunakan beda tinggi (ARV) 5,6o untuk sabit bulan (W) sangat tipis (0,1’).
Kriteria [3 – 6,4] bisa menjadi titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab dengan mengadopsi data rukyat jangka panjang dengan parameter yang mudah dihisab. Kriteria [3 – 6,4] yang sudah diterima di negara-negara MABIMS berpotensi menjadi dasar kriteria kalender hijriyah regional ASEAN.
“Kalender regional lebih baik daripada Kalender islam Global yang menimbulkan kontroversi dalam implementasi ibadah,” ujarnya.
Komentar tentang post