Darilaut – Karya-karya Pramoedya Ananta Toer (Pram) terutama Tetralogi Buru, menyajikan dan menawarkan perspektif sejarah yang berbeda dari narasi dominan.
Pram menampilkan tokoh-tokoh yang terpinggirkan dan menyoroti bagaimana sistem kolonial bekerja sebagai totalitas yang menindas. Narasi Pram juga bersifat polyphonic, yakni memberi ruang bagi berbagai suara dan perspektif yang menantang versi sejarah resmi.
“Pram menyoroti bahwa Indonesia lahir dari imajinasi kolektif tentang perlawanan terhadap kolonialisme, bukan karena kesamaan etnis atau bahasa,” ujar sejarawan dan aktivis Hilmar Farid, dalam diskusi sastra “Seratus Tahun Pramoedya Ananta Toer: Dari Sastra ke Sejarah, dari Kemanusiaan ke Perlawanan”, yang berlangsung Kamis (6/3).
Kegiatan ini diselenggarakan Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (PR MLTL) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia Komisariat Nusa Tenggara Barat (HISKI NTB).
Hilmar menjelaskan dalam bukunya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram mengkritik kegagalan revolusi akibat kurangnya kesatuan visi dan kemiskinan imajinasi. Yaitu ketidakmampuan membayangkan tatanan kehidupan yang benar-benar baru.
Kritik ini relevan dalam berbagai krisis yang terus berulang, dari eksploitasi sumber daya hingga ketidakadilan sosial.