Darilaut – Sejumlah karya Pramoedya Ananta Toer (Pram) seperti Bumi Manusia dan Tetralogi Pulau Buru pernah dilarang beredar. Karya-karya tersebut dianggap mengandung unsur subversif dan pertentangan kelas.
Namun, karya-karya Pram sangat populer di kalangan generasi muda.
“Meskipun karyanya dulu dilarang, saat ini buku-bukunya semakin populer di kalangan generasi muda, menunjukkan ketertarikan yang tinggi terhadap sejarah dan kemanusiaan,” kata Koh Young Hun, seorang Indonesianis berkebangsaan Korea Selatan.
Pram pernah menjadi kandidat peraih Nobel sejak 1980, tetapi diduga tidak mendapatkannya karena diplomasi pemerintah Indonesia saat itu.
“Nobel mungkin tidak diraihnya, tetapi warisan pemikirannya tetap hidup dalam literatur dan pemahaman sejarah bangsa,” ujar Koh Young Hun dalam dalam diskusi sastra “Seratus Tahun Pramoedya Ananta Toer: Dari Sastra ke Sejarah, dari Kemanusiaan ke Perlawanan”, yang berlangsung Kamis (6/3).
Kegiatan ini diselenggarakan Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (PR MLTL) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia Komisariat Nusa Tenggara Barat (HISKI NTB).
Meskipun demikian, Pram tetap dikenal sebagai sastrawan besar yang menyoroti isu kemanusiaan, perjuangan, dan sejarah Indonesia. Pandangannya tercermin dalam karakter seperti Hardo (Perburuan) dan Sa’aman (Keluarga Gerilya) yang menghadapi dilema antara kepentingan pribadi dan bangsa.