Artinya, ada ruang bagi kapal ikan asing untuk melakukan aksi sebab dari 365 hari dalam setahun kapal pengawas kita kurang intensif melakukan operasi karena kekurangan anggaran.
“Bandingkan dengan Kanada dengan tingkat IUU fishing rendah, mereka mengalokasikan 200 hari layar untuk operasi kapal pengawas perikanan” kata Abdi.
Karena itu, pemerintah dan DPR perlu meninjau ulang alokasi anggaran untuk operasi kapal pengawas perikanan. “Mengingat stok ikan di laut kita yang terus meningkat dan kini mencapai 12,5 juta ton dan untuk menjaga laut kita dari praktik pencurian ikan, DPR perlu memberikan dukungan peningkatan anggaran kepada KKP agar hari layar kapal pengawas bisa lebih banyak,” kata Abdi.
Sementara itu, peneliti DFW-Indonesia, Widya Safitri menyoroti proses pengadilan bagi pelaku ilegal fishing. Sesuai ketentuan UU No 45/2009 tentang Perikanan ancaman hukuman pidana 6 tahun dan denda paling banyak Rp 20 miliar.
“Di samping memperkuat pengawasan di hulu, pemerintah Indonesia juga mesti memberikan perhatian pada proses dihilir, yaitu pengadilan,” kata Widya.
Untuk memberikan efek jera, hakim di pengadilan perikanan mesti memberikan hukuman maksimal sesuai ancaman UU bagi pelaku ilegal fishing yang tertangkap di perairan Indonesia.
Adapun MoU yang telah diteken oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Jaksa Agung dan Panglima TNI beberapa waktu lalu, seharusnya menjadi strategis untuk lebih memperkuat penegakan hukum di laut. “Sehingga implementasinya dalam level operasional sangat menentukan kemanfaataan MoU tersebut,” kata Widya.*
Komentar tentang post