Selama tujuh hari, warga Pilohayanga khususnya dan Gorontalo menyaksikan berbagai pertunjukan musik, teater, baca puisi, tanggomo, tari dan lain-lain.

Seniman tari yang juga Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo, Dr Riana Diah Sitharesmi, mengatakan, pertunjukan Lingkar Seni Wallacea mengintegrasikan seni dan masyarakat.
“Kolaborasi musik gambus dan gitar yang ditampilkan selama pertunjukan dapat diterima masyarakat dengan baik,” kata Diah.
Seperti Tanggomo sastra lisan Gorontalo yang biasanya dibawakan dengan iringan gambus, diadaptasi dan dimodifikasi dalam bentuk teater monolog dalam pertunjukan Lingkar Seni Wallacea, di malam penutupan.
Dibawakan dengan apik oleh Atay Hala, teater monolog “Kasimu Motoro” membuat pengunjung di malam penutupan Lingkar Seni Wallacea hampir tidak bergerak.
Dalam diam, sesekali kendaraan melewati jalanan, setiap sesi percakapan (narasi) yang disampaikan dengan cuplikan kisah “Kasimu Motoro” membuat pengunjung mengikuti irama gerak dan suara.
Tidak berbeda dengan tanggomo “Kasimu Motoro” yang dibawakan dalam bahasa bersajak dengan iringan gambus.
Tanggomo
Tanggomo, sebelum ada surat kabar dan media siber seperti sekarang ini, menjadi media alternatif masyarakat Gorontalo untuk mendapatkan informasi.
Komentar tentang post