Darilaut – Pertunjukan Lingkar Seni Wallacea ke-4 sukses digelar di Desa Pilohayanga, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo. Ribuan warga memadati panggung berbahan bambu yang dibuat di pinggiran jalan lingkar luar, Gorontalo Outer Ring Road (GORR), kompleks masjid jami Ar-Rahmah, Pilohayanga. Kegiatan secara swadaya Lingkar Seni Wallacea berlangsung selama tujuh hari berturut-turut, sejak Rabu (7/12) hingga Rabu (14/12) malam. “Lingkar Seni Wallacea kali ini merupakan kolaborasi Karang Taruna Desa Pilohayanga dan Teater Peneti Gorontalo,” kata pendiri dan pembina Teater Peneti, Zulkifli Lubis. Selama seminggu seniman Gorontalo secara bergantian mendatangi, tampil dan berbagi ilmu seni di lokasi ini. Seniman yang hadir bukan hanya dari Gorontalo. Terdapat pula seniman yang berasal dari lingkar Wallacea, antara lain, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tenggara. Menurut Direktur Riden Baruadi Galeri, Muhammad Djufryhard, awalnya lingkar seni ini mencakup wilayah Sulawesi. Kemudian kegiatan ini juga diikuti seniman Nusa Tenggara, Maluku dan menjadi Lingkar Seni Wallacea. Lingkar Seni Wallacea digelar setiap tahun di wilayah Wallacea. Kegiatan ini sempat tidak dilaksanakan di masa pandemi Covid-19. Tahun ini, pertunjukan Lingkar Seni Wallacea, kembali berlangsung di Gorontalo. Selama tujuh hari, warga Pilohayanga khususnya dan Gorontalo menyaksikan berbagai pertunjukan musik, teater, baca puisi, tanggomo, tari dan lain-lain. Pertunjukan seni tari oleh Makuta saat pergelaran Lingkar Seni Wallacea, Rabu (14/12) di Pilohayanga, Gorontalo. FOTO: DARILAUT.ID Seniman tari yang juga Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo, Dr Riana Diah Sitharesmi, mengatakan, pertunjukan Lingkar Seni Wallacea mengintegrasikan seni dan masyarakat. “Kolaborasi musik gambus dan gitar yang ditampilkan selama pertunjukan dapat diterima masyarakat dengan baik,” kata Diah. Seperti Tanggomo sastra lisan Gorontalo yang biasanya dibawakan dengan iringan gambus, diadaptasi dan dimodifikasi dalam bentuk teater monolog dalam pertunjukan Lingkar Seni Wallacea, di malam penutupan. Dibawakan dengan apik oleh Atay Hala, teater monolog “Kasimu Motoro” membuat pengunjung di malam penutupan Lingkar Seni Wallacea hampir tidak bergerak. Dalam diam, sesekali kendaraan melewati jalanan, setiap sesi percakapan (narasi) yang disampaikan dengan cuplikan kisah “Kasimu Motoro” membuat pengunjung mengikuti irama gerak dan suara. Tidak berbeda dengan tanggomo “Kasimu Motoro” yang dibawakan dalam bahasa bersajak dengan iringan gambus. Tanggomo Tanggomo, sebelum ada surat kabar dan media siber seperti sekarang ini, menjadi media alternatif masyarakat Gorontalo untuk mendapatkan informasi. Ragam tanggomo termasuk jenis sastra lisan Gorontalo yang menarik bagi masyarakat dari dulu sampai sekarang. Isi tanggomo ini dianggap berita dalam bahasa bersajak yang disampaikan di pasar, rumah dan acara hajatan. Pencerita atau tukang tanggomo, berasal dari berbagai latar belakang, mulai petani, pedagang atau nelayan. Hidup mereka sangat lekat dengan sastra lisan. Tanggomo berarti “Tampung”. Ditambahkan “Mo” di depannya, yakni “Mo Tanggomo” menjadi kata kerja aktif yang berarti “Menampung dengan tangan menadah ke atas”. Tanggomo sangat dekat dengan kegiatan bercerita, orang yang menampung cerita itu kemudian disebut “Ta Motanggomo” atau tukang tanggomo. Ta Motanggomo yang paling populer di Gorontalo adalah maestro tanggomo asal Tapa, Bone Bolango Manuli Askali atau Teme Sahala, dan Risno Ahaya. Sebelum disampaikan pada khalayak banyak, cerita yang tertampung itu digubah menjadi untaian kata berima. Panjang Tanggomo beragam, bisa puluhan, ratusan, bahkan ribuan baris. Setiap baris berkisar antara tujuh sampai 12 suku kata. Seperti halnya cerita Kasimu Motoro. Banyak anggapan kisah Kasimu Motoro nyata dan pernah terjadi di Gorontalo, tempo dulu. Lukisan yang ditampilkan saat pergelaran Lingkar Seni Wallacea, di Pilohayanga, Gorontalo. FOTO: DARILAUT.ID Kasimu Motoro Kasimu Motoro bukanlah kendaraan sepeda motor. Ini nama seseorang dengan panggilan “Toro”. Kisah ini antara lain menceritakan Laki-laki pemabuk yang tak bertanggung jawab. Cerita tragedi dan tragis ini dikisahkan di masa silam dalam seni bersajak Tanggomo. Episode pertama, dibuka dengan baris Bisimila molumulo ‘dengan nama Allah mulai’. Baris kedua, Bisimila tumulalo ‘dengan nama Allah dimulai’. Episode pembuka ini menggambarkan seorang suami yang suka main judi dan tidak suka memberi belanja kepada istrinya. Sosok Toro hidup sepenuhnya dipersembahkan di meja judi dan alkohol. Pulang rumah selalu menuntut bukan-bukan. Makan enak harus tersedia di meja. Padahal, Toro tak memberi sepeser pun uang belanja untuk istrinya. Kalau tak dipenuhi, istri dicaci, ditendang, ditampar dan dipukul tanpa ampun. Episode selajutnya, setelah memukul, Toro kembali ke meja judi. Istrinya, bergegas pergi ke warung dan mengutang bahan makanan. Istri mengambil air. Kemudian membawa anak sulung untuk dititipkan ke neneknya. Setelah tiba kembali di rumah, istri memasak nasi, memarut kelapa, mengiris dan menumbuk rempah-rempah. Istri memandikan anaknya yang bungsu, mengganti pakaian anak itu, menyusukannya dan mencium anak tersebut. Teater monolog Kasimu Motoro saat pergelaran Lingkar Seni Wallacea, Rabu (14/12) di Pilohayanga, Gorontalo. FOTO: DARILAUT.ID “Tak lama kemudian Toro pulang ke rumah. Lalu makan berturut-turut masakan istrinya. Pada ikan bungkus ia tergigit pada kelingking anaknya, lalu ia melihat buaian anaknya yang tinggal ditaruh anak batu, maka dihancurkannya buaian itu bersama perkakas rumah dan dinding rumahnya.” “Toro mencari istrinya yang disembunyikan di rumah kepala desa. Toro ditangkap, lalu diperiksa dan dipukul. Kemudian dibawa ke kantor polisi. Pada hari ketiga Toro kedapatan telah mati, lalu dibawa kepada keluarganya untuk dikuburkan.” Mengenai kebenaran kisah Kasimu Motoro ini, guru besar di Universitas Negeri Gorontalo Prof. Dr Nani Tuloli, dalam Jurnal Kebudayaan Tanggomo (2011), mengatakan, cerita itu tak pernah terjadi. Masing-masing wilayah di Gorontalo mengeklaim peristiwa itu terjadi di daerahnya. Ini yang menjadi letak keraguan dari kebenaran kisah itu. Tahun 1990, Nani Tuloli menyusun Disertasi untuk meraih gelar doktoral di Universitas Indonesia, dengan judul “Tanggomo, salah satu ragam sastra lisan Gorontalo”. Menurut Nani, satu-satunya fakta yang nampak jelas adalah kecerdasan pengisah Tanggomo, yang berhasil menyatakan imajinasinya itu hingga merasuk jauh pada benak ingatan setiap orang yang menyimak. Ribuan pengunjung memadati pertunjukan Lingkar Seni Wallacea, Rabu (14/12) di Pilohayanga, Gorontalo. FOTO: DARILAUT.ID Kini kisah Kasimu Motoro yang dibawakan dalam seni teater monolog saat pertunjukan Lingkar Seni Wallacea, tetap menarik dan membuat pengunjung terdiam dan menyimak setiap adegan dan narasi. Pesan moral dalam cerita Kasimu Motoro yang biasanya dengan iringan gambus oleh Ta Motanggomo, disampaikan melalui seni teater monolog. Ini, seperti kata Dr Riana Diah, masyarakat dapat menerima hal baru. Selain pertunjukan dan pembelajaran, Lingkar Seni Wallacea di Pilohayanga sukses karena dukungan warga setempat dan seniman.
Komentar tentang post