Darilaut – Ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia masih sangat tajam. Lebih dari 61,3% petani kini berstatus gurem, yakni hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Artinya, enam dari sepuluh petani di pedesaan hidup di atas tanah yang tidak mencukupi untuk bertani layak.
Hal ini berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang disampaikan pada Seminar Nasional Pangan dan Energi: Perlindungan Hak-hak masyarakat adat, Petani, Nelayan dan Kelompok Rentan Dalam Kebijakan Pembangunan Sektoral, di Jakarta 11 November 2025
Satu dekade terakhir, jumlah petani gurem meningkat 2,63 juta orang, atau sekitar 263 ribu orang setiap tahun, sementara lahan pertanian justru berkurang 2,63 juta hektar akibat konversi untuk industri, perkebunan, tambang, dan infrastruktur.
“Ada 25.000 desa yang masih diklaim kawasan hutan; keluarkan mereka dari status itu agar bisa hidup dan bertani dengan adil. 11 tahun terakhir, hanya 0,024% konflik agraria yang benar-benar diselesaikan oleh KLHK ini bukti betapa lambatnya negara,” ujar Roni Septian dari Konsorsium Pembaruan Agraria, dalam seminar.
Situasi ini menunjukkan bahwa ketimpangan agraria bukan sekadar masalah kepemilikan tanah, melainkan juga persoalan keadilan sosial dan hak hidup.
Ketika lahan semakin sempit, jumlah buruh tani meningkat, dan petani tidak mampu lagi memproduksi pangan secara mandiri, maka kedaulatan pangan bangsa pun melemah.




