Darilaut – Enam tahun lalu, tepatnya pada 28 September 2018, Kota Palu, Sulawesi Tengah, diguncang gempa bumi berkekuatan M7,5 dan menjadi perhatian masyarakat luas.
Gempa tersebut memicu bahaya ikutan (collateral hazard) yaitu tsunami, likuifaksi, longsor, dan runtuhan batu.
Fenomena alam ini mendapatkan perhatian para ahli karena gempa dengan mekanisme geser dan berpusat di darat mampu memicu tsunami.
Gempa ini merupakan supershear earthquake dengan kecepatan rupture lebih tinggi dari kecepatan gel. Supershear menyebabkan ground motion lebih besar.
Secara historis, menurut Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono, saat itu waktu tiba gelombang tsunami di Palu adalah 2-3 menit setelah gempa bumi terjadi.
Namun, akibat keterbatasan teknis sistem InaTEWS dalam mengeluarkan peringatan dini PDT-3 sebelum PDT-1 dan PDT-2 adalah lima menit sehingga terjadi keterlambatan informasi.
“Belajar dari kejadian di Palu yang diakibatkan oleh longsor bawah laut yang disebabkan oleh gempa bumi di mana tsunami tiba dalam 2 hingga 3 menit, tidak cukup hanya mengandalkan pemantauan seismik yang canggih. Masyarakat di daerah berisiko tsunami harus diberikan edukasi yang baik,” ujarnya.
BMKG melaksanakan Palu Communication Transmission Exercise 2024 sebagai bentuk kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami yang dapat terjadi kapan saja.