Darilaut – Tim peneliti Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University melakukan kajian penting mengenai ekosistem bawah air setelah letusan Gunungapi Anak Krakatau.
Peneliti IPB University, Dr Hawis Madduppa mengatakan timnya telah meneliti gugusan pulau Krakatau di Provinsi Lampung, Sumatera pada akhir September lalu. Tim riset berusaha mengungkap kehidupan bawah air dengan menggunakan teknologi DNA lingkungan (eDNA).
“Kami mengamati taksa mikroba utama yang memasuki ekosistem melalui mekanisme aerial. Kami melakukan pengamatan spora menggunakan sampel spora siklon di daratan pantai Anak Krakatau dan di perairan terumbu karang di sekitar Kepulauan Krakatau, yang merupakan Cagar Alam dan Cagar Alam Laut,” ujar Hawis Dosen IPB University dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan ini, mengutip Ipb.ac.id.
Gunung Anak Krakatau muncul dari laut di Selat Sunda antara Jawa dan Sumatera pada tahun 1930. Gunung ini tumbuh dengan kecepatan sekitar 4 meter per tahun.
Tahun 2018 terjadi letusan besar dan tanah longsor yang memicu tsunami. Letusan terakhir di bulan April 2020.
“Ini menarik untuk dikaji. Terutama tentang ekosistem baru pada tahap awal pengembangan gunung. Kajian ini juga untuk menentukan kolonisasi mikroba serta peran penting mereka dalam pengembangan ekosistem mikroba di perairan sekitar dan tanah,” ujar Hawis.
Dr Hawis menjelaskan teknik molekuler digunakan untuk menentukan taksa mikroba yang ada. DNA sampel akan diekstraksi menggunakan kit DNeasy PowerSoil dengan modifikasi Tournier.
Amplifikasi berikutnya dari wilayah gen 16S V4 untuk bakteri dan archaea dan wilayah ITS2 untuk jamur.
Menurut Hawis setelah pemrosesan bioinformatika, taksa akan ditetapkan dengan mengacu pada basis data yang sesuai. Ordinasi akan dilakukan untuk menilai hubungan antara struktur komunitas mikroba, lokasi dan kimia substrat dengan analisis kesamaan (ANOSIM) untuk menilai perbedaan antar kelompok.
Namun, kata Hawis, sifat kejadian vulkanik yang tidak dapat diprediksi membuat studi menjadi sulit. Hal ini yang menyebabkan kesenjangan dalam pemahaman kita tentang bagaimana ekosistem pulih setelah letusan gunung berapi.
Ketika abu vulkanik jatuh, baik sebagai aliran piroklastik atau dari awan letusan bersifat steril dan kurang nutrisi.
Selama ratusan tahun, perkembangan tanah di atas endapan abu mengarah ke andosol yang sangat subur. Ini yang menyebabkan kepadatan penduduk yang tinggi di pulau-pulau vulkanik seperti Jawa.
Peneliti Departemen Teknologi Hasil Perairan IPB University Dr Kustiariyah Tarman menjelaskan bahwa secara khusus, pada tahap awal suksesi, kolonisasi oleh populasi mikroba akan menjadi penting.
“Karena mereka adalah pemain kunci biogeokimia. Perintis mikroba ini dapat memodifikasi abu, mendorong perkembangan lingkungan tanah dan meningkatkan kinerja tanaman. Oleh karena itu, tanpa kedatangan mikroba lebih awal, suksesi ekologis dan perkembangan tanah akan tertunda,” katanya.
Karena itu, menurut Kustiariyah, meningkatkan pemahaman tentang suksesi dan perkembangan komunitas mikroba itu penting dan merupakan kunci perkembangan tanah serta sedimen. Keberadaan mikroba juga mempengaruhi kimia bahan organik.
Akumulasi dan stabilitas jangka panjangnya maupun proses pelapukan mineral berkontribusi pada kesuburan tanah.
“Hasil studi ini akan memberikan wawasan yang signifikan tentang pembentukan ekosistem awal pada abu vulkanik melalui identifikasi koloni mikroba perintis. Data ini akan menjadi dasar untuk pemantauan perkembangan ekosistem Anak Krakatau di masa mendatang,” ujarnya.
Untuk pengayaan materi pembelajaran, hasil kajian juga akan dipublikasikan di jurnal ilmiah dan dipresentasikan pada forum ilmiah atau disampaikan kepada stakeholders terkait.
Selain Dr Kustiariyah dan Dr Hawis, tim peneliti FPIK IPB University yang terlibat dalam riset ini masing-masing Dondy Arafat, Raihan Hadi Syahputra, M Arief Budiman, Moh Saeful Hidayat dan Ade Gde Tangkas Vahyu, serta M Iqbal Sani.
Komentar tentang post