Darilaut – Dampak iklim di beberapa wilayah di Indonesia bukan hanya dipengaruhi oleh El Nino, akan tetapi bisa dari global warming (pemanasan global).
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Edvin Aldrian berpandangan jika terjadi perbedaan dampak iklim di beberapa wilayah di Indonesia, tidak hanya dipengaruhi oleh El Nino tapi juga bisa dari global warming.
Prof Aldrian melihat dua-duanya memiliki kekuatan yang sama. Jika El Nino lemah, maka berfungsi global warming atau sebaliknya.
“Ini yang jadi pertanyaan di Indonesia kenapa masih terjadi hujan,” ujarnya.
Akan tetapi, Aldrian sepakat jika tahun ini terjadi El Nino. Yang dilihat di Indonesia suhu muka laut yang panas. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi El Nino sudah terobservasi.
Temperatur suhu muka laut daerah khatulistiwa (SSTs) di atas rata-rata di pusat hingga timur samudera Pasifik. Anomali kondisi suhu muka laut di daerah khatulistiwa konsisten dengan kondisi El Nino yang lemah.
Namun demikian, Aldrian menyebutkan perlu sinyal El Nino-Southern Oscillation (ENSO) yang kuat agar dampak ENSO bisa terdeteksi.
Apabila sinyal ENSO tidak kuat ada kemungkinan kemarau basah.
Hal ini terjadi karena suhu laut Indonesia akan lebih tinggi dari musim kemarau atau masa sinyal peralihan dari kemarau dan basah. Di mana, suhu laut tinggi karena ada fenomena global warming.
Peneliti Ahli Madya PRIMA-BRIN, Erma Yulihastin, mengatakan pada tahun ini bisa jadi terjadi kemarau basah.
Hal itu lantaran adanya Suhu Muka Laut yang menghangat, anomali divergensi dan konvergensi.
Ditambah dengan adanya angin dari timur dan berbelok ke wilayah indonesia yang menjadi pusat dari uap air yang menjadikan kemarau basah.
“Dari sisi historis, El Nino terjadi biasanya netral dulu, maka skenario El Nino akan terjadi pada 2024,” katanya.
Hanya saja, kata Erma, jika melihat fenomena perbedaan dampak iklim dan cuaca di beberapa daerah ini perlu disikapi, salah satu kuncinya dengan melakukan pemetaan secara regional.
Karena wilayah Indonesia memiliki kepulauan-kepulauan yang besar dan lautan. “Ambil contoh di Kalimantan saja, beda antara utara dan selatan,” katanya.
Menurut Erma, saat ini perlu adanya tools yang handal untuk bisa memetakan secara detil. Sebab saat ini, parameter global tidak bisa jadi lagi tolok ukur.
Puncak El Nino diperkirakan bakal bergeser pada akhir September dan awal Oktober 2023. Hal ini disampaikan Peneliti Ahli Utama PRIMA-BRIN Prof Eddy Hermawan.
Prof Eddy memprediksi pergeseran ini berdasarkan kajiannya dari berbagai literatur ilmiah.
“El Nino tahun 2023 tergolong unik karena puncaknya diduga bakal terjadi akhir September/awal Oktober 2023, tidak pada bulan November/Desember seperti pada umumnya. Selain itu, durasinya pun tergolong relatif pendek (berakhir hingga awal tahun 2024),” kata Eddy.
Prof Eddy menyampaikan prediksi ini dalam pembahasan mengenai fenomena El Nino yang digelar PRIMA – BRIN melalui
Diskusi Pakar bertema “Memahami Anomali Cuaca dan Iklim di Benua Maritim Indonesia” secara hybrid, Selasa (1/8).
Eddy tak menampik jika impak El Nino walaupun moderat sudah dirasakan di wilayah timur Indonesia.
Tak hanya itu, indikasi kebakaran hutan juga sudah terlihat. “Kecil kemungkinannya terjadi musim kemarau basah, mengingat Indian Ocean Dipole (IOD) sudah tidak lagi menuju fase negatif, dan juga hilangnya kolam dingin di pantai barat Sumatera Selatan,” ujarnya.
Komentar tentang post