Darilaut – Abdul Uno tercatat sebagai perintis pers pertama di Gorontalo. Bersama beberapa orang Gorontalo, Abdul Uno mendirikan majalah Po’noewa, pada 30 November 1932. Po’noewa, diterbitkan Perserikatan Gorontalo Instituut.
Bukan hanya merintis pers di Gorontalo, Abdul Uno — kakek pengusaha Sandiaga Salahudin Uno, juga bergelut dalam upaya pelestarian satwa endemik Sulawesi, burung maleo.
Burung maleo, dalam bahasa Gorontalo disebut Panua, salah satu habitatnya di antara bumbulan dan Marisa (yang sekarang menjadi Kabupaten Pohuwato). Abdul Uno yang juga Kepala Kehutanan Gorontalo menulis tentang maleo, pada terbitan berbahasa Belanda yang sangat bergengsi di masa itu, pada 1949.
Kawasan pantai berpasir yang ditumbuhi mangrove di antara bumbulan dan Marisa, diusulkan sebagai kawasan lindung pada pada 1936, dengan luas 1500 ha.
Pada 1938, kawasan ini kemudian ditetapkan sebagai Monumen Alam oleh pemerintahan Hindia Belanda. Lokasi ini sebagai kawasan konservasi pertama khusus perlindungan maleo.
Razif Halik Uno menceritakan, di masa kecil, pernah diajak ayahnya ke lokasi peneluran maleo.
“Seingat saya, ketika berumur 11 tahun, saya pernah ikut ayah meneliti maleo di Cagar Alam Panua di antara Bumbulan dan Marisa,” kata Razif Halik Uno, seperti dikutip dari buku Kisah Orang Gorontalo (2015) yang ditulis Verrianto Madjowa.
Razif Halik Uno yang biasa disapa Om Henk adalah ayah Sandiaga Uno.
Apa yang disampaikan Henk Uno ini, terdapat dalam terbitan TECTONA XXXIX tahun 1949, berbahasa Belanda. Tulisan sebanyak 15 halaman ini menggambarkan kondisi tempat peneluran dan habitat maleo di Panua.
Terdapat formasi tumbuhan mangrove dan asosiasi pada habitat tempat bersarang maleo, seperti tumbuhan menjalar di pantai berpasir Ipomoea pes-caprae. Jenis yang lain dalam bahasa Gorontalo Wontami, pongapoehoe, oloitoma (eboni, Ebenaceae), boehoe (Garuga abilo), loengoelolo dehelo (Heritiera littoralis), molilipotalodehelo (Peltophorum) dan tiladoe (Corypha utan) sejenis palm.
Menurut Abdul Uno, telur maleo di Boalemo, Gorontalo, banyak diminati oleh penduduk lokal yang membayar dengan harga bagus. Pengumpulan telur-telur maleo telah menjadi bisnis yang menguntungkan. Bahkan ada yang menyewa tempat bersarang maleo untuk diambil telurnya.
Memang, untuk menemukan telur-telur ini tidak mudah. Orang awam tidak begitu saja bisa menemukan lubang tempat telur-telur itu.
Bagi mereka yang sudah terbiasa akan mudah mengetahui bagaimana ciri bekas lubang yang ada telurnya.
Kesimpulan hasil pengamatan Abdul Uno dalam tulisan tersebut, meski maleo –sebagai burung dan tempat bersarang dilindungi hukum di distrik Panua pada 1938, spesies burung unik ini terancam punah, jika tidak ada tindakan perlindungan lain yang diambil dalam waktu dekat.
Kiprah Abdul Uno sebagai konservasionis maleo pertama dan Kepala Kehutanan Gorontalo diangkat dalam konferensi internasional maleo di Tomohon, Sulawesi Utara, pada Maret 2010.
Konferensi membahas kegiatan konservasi di lapangan, pendidikan dan penyuluhan, serta sains. Kegiatan digelar oleh Kelompok Kerja (Pokja) Maleo Indonesia yang diketuai Dr John Tasirin dari Universitas Sam Ratulangi dan Dr Hafsah Awal dari Universitas Tadulako. Ketua panitia penyelenggara, ahli Maleo internasional, Marc Argeloo.
Untuk pertama kali, Pokja Maleo Indonesia mengambil inisiatif untuk melaksanakan konferensi internasional Maleo. Hal ini untuk memberikan landasan pengelolaan konservasi maleo bagi badan pemerintah, masyarakat sipil dan masyarakat luas.
Dari tahun ke tahun populasi maleo terus menyusut. Upaya terus dilakukan berbagai organisasi lingkungan, peneliti, dan masyarakat untuk mempertahankan agar maleo –burung endemik Sulawesi ini– tidak punah.*