Darilaut – Sinyal gangguan ekosistem mangrove terjadi di banyak lokasi di pesisir Indonesia. Salah satunya, di kawasan mangrove Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).
Pagi itu, Nasrun Abdullah (40 tahun), nelayan Uwedikan berjalan di atas akar mangrove dengan penuh waspada. Matanya jeli mengawasi sekitar.
Jalannya pelan dan terukur, sementara itu, tangan kirinya meraih akar pohon mangrove yang timbul ke permukaan tanah. Tangan kanannya memegang clipboard yang dijepit kertas putih, dengan pensil yang terselip di antara papan.
“Hati-hati , banyak akar yang lapuk,” teriak Nasrun.
Pukul 09.00 Wita, pada minggu ketiga di bulan Agustus 2025, Nasrun bersama 6 nelayan gurita di Desa Uwedikan, sudah berada di atas perahu menuju lokasi pendataan mangrove.
Untuk menjangkau lokasi pendataan, mereka menggunakan perahu kayu yang biasanya dipakai untuk melaut.
Perahu-perahu ini bergerak pelan menuju Pulau Balean, Pulau Panjang, Pulau Bubuitan, dan Pulau Balebajo. Tim sebanyak 13 orang terbagi menjadi dua kelompok.
Tujuh orang nelayan gurita. Satu orang perempuan nelayan, enam orang nelayan laki-laki termasuk Nasrun. Sementara sisanya merupakan staf Jaringan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (JAPESDA) dan enumerator.