Thomas menjelaskan bahwa metode hisab telah berkembang sangat pesat dan memiliki tingkat akurasi tinggi.
“Saat ini, perhitungan astronomi sudah sangat akurat, bahkan untuk gerhana matahari atau bulan dapat dihitung hingga hitungan detik,” ujarnya.
Namun, meskipun hisab sangat akurat, sebagian besar umat Islam masih menginginkan pembuktian dengan rukyat.
Perbedaan penetapan awal bulan Hijriah sering kali bukan disebabkan oleh perbedaan metode hisab dan rukyat, melainkan karena adanya perbedaan kriteria yang digunakan oleh berbagai organisasi Islam dan pemerintah.
Di Indonesia, misalnya, kriteria yang digunakan oleh pemerintah berbeda dengan Muhammadiyah, tetapi sama dengan beberapa ormas Islam lainnya. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan dalam menentukan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Selain itu, faktor geografis dan kondisi cuaca juga berpengaruh dalam metode rukyat. Hilal yang sangat tipis dapat terhalang oleh cahaya senja atau cuaca mendung, sehingga sulit diamati dengan mata telanjang.
“Salah satu tantangan terbesar dalam rukyat adalah kontras cahaya. Hilal sangat tipis dan sering kali kalah terang dibandingkan cahaya senja,” kata Thomas.
Untuk mengatasi kendala ini, teknologi astronomi terus dikembangkan guna meningkatkan keakuratan pengamatan hilal. Salah satu teknologi yang kini digunakan adalah teleskop dengan kamera digital dan pemroses citra image stacking, yang dapat meningkatkan kontras citra hilal dengan cara menumpuk ratusan gambar dalam satu frame.