Jakarta – Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nilanto Perbowo secara resmi membuka penyelenggaraan Indonesia Pearl Festival (IPF) ke-8, Kamis (21/11). IPF mengusung pesona mutiara laut selatan Indonesia (Indonesian South Sea Pearl) dari tiram Pinctada maxima hasil alam maupun hasil budidaya.
Budidaya mutiara laut selatan ini tersebar di berbagai wilayah Indonesia di antaranya Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tengara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Sumatera Barat.
IPF dengan tema “The Marvelous Indonesian South Sea Pearl” berlangsung di Lippo Mall Kemang, Jakarta Selatan. IPF digelar sejak Kamis (21/11) hingga Minggu (24/11), hari ini. Kegiatan ini kerja sama KKP melalui Ditjen PDSPKP dengan DWP KKP, Asbumi, dan Pemerintah Provinsi Sulut.
IPF 2019 menghadirkan nuansa Provinsi Sulawesi Utara dan Bunaken sebagai salah satu wilayah potensi budidaya mutiara.
IPF diikuti oleh 32 booth yang terdiri dari 21 booth pelaku usaha budidaya dan perhiasan, 1 booth Provinsi Sulut, 3 booth sponsor, dan 3 booth penunjang. IPF ini diharapkan dapat menarik retailers maupun pengguna dan pecinta mutiara yang datang dari dalam dan luar negeri.
Menurut Nilanto, mutiara merupakan salah satu komoditas unggulan dari sektor kelautan dan perikanan yang bernilai ekonomi tinggi dan memiliki prospek pengembangan usaha di masa mendatang. “Hal ini dapat dilihat dari peningkatan permintaan perhiasan dari mutiara dan harganya yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Nilanto mengatakan, saat ini pasar mutiara dunia didominasi oleh empat jenis mutiara yaitu mutiara laut selatan (south sea pearl), mutiara akoya (akoya pearl), mutiara hitam (black pearl), dan mutiara air tawar (fresh water pearl). Namun dari keempat jenis tersebut, mutiara laut selatan dinilai unggul.
Mutiara laut selatan memiliki ukuran paling besar dibandingkan jenis mutiara lainnya yaitu antara 9-17 mm. Mutiara ini dengan warna kilau keperakan (silver) dan keemasan (gold) sehingga sangat digemari di pasar luar negeri.
Permukaan nacre memancarkan warna biru, silver, dan merah jika terkena cahaya. Tak heran dengan segala keunggulannya tersebut, mutiara jenis ini dibanderol dengan harga yang lebih tinggi yaitu sekitar USD16-18 per gram. “Satu kalung untai bahkan bisa bernilai seharga USD3.000 – 6000,” kata Nilanto.
Berdasarkan data BPS (2019), nilai ekspor mutiara Indonesia pada tahun 2018 mencapai USD42,27 juta dengan negara utama tujuan ekspor Hong Kong, Australia, Jepang, dan China.
Namun demikian, berdasarkan nilai perdagangan mutiara dunia, Indonesia hanya menempati urutan kelima dunia, di bawah Hong Kong, Jepang, French Polynesia/Tahiti, dan China.
Menurut Nilanto, usaha budidaya mutiara di Indonesia tidak hanya memberikan manfaat langsung kepada pelaku usaha budidaya, tetapi juga bagi pelaku usaha kreatif yang memanfaatkan sisa hasil usaha budidaya mutiara. Beberapa di antaranya aneka hiasan dengan memanfaatkan kulit tiram mutiara, kosmetik dari serbuk (powder) mutiara sisa hasil penggergajian kulit tiram mutiara, dan cat kendaraan dari sisa kulit tiram mutiara.
“Di beberapa sentra penghasil mutiara, tumbuh usaha kerajinan kulit tiram mutiara yang melibatkan tidak sedikit pelaku usaha skala UKM hingga skala besar,” ujar Nilanto.
Untuk meningkatkan daya saing mutiara laut selatan Indonesia ini, pemerintah melalui KKP telah melakukan berbagai upaya, salah satunya memperkuat sarana dan prasarana broodstock center kekerangan di Karang Asem Bali. KKP juga menerapkan Standar Nasional Indonesia pada pendederan spat tiram mutiara, mutiara induk, dan mutiara spat, serta syarat mutu dan penanganan mutiara untuk meningkatkan standar mutiara Indonesia.
Di sisi regulasi, KKP juga melakukan pengendalian mutu mutiara yang masuk ke wilayah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 8 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah menjadi Permen KP Nomor 44 Tahun 2014.
“Kita juga telah melaksanakan pelatihan tentang mutu mutiara kepada petugas pengujian mutu mutiara di sentra-sentra produksi dan pintu masuk atau bandara,” kata Nilanto.
Mutiara memiliki potensi dan berkontribusi bagi pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat dan menjadi pemasukan devisa bagi negara.
“Saya mengharapkan kegiatan ini juga dapat meningkatkan sinergitas antar-instansi dan pemangku kepentingan untuk bersama-sama mendorong citra Indonesia sebagai salah satu penghasil mutiara yang bermutu dan berdaya saing tinggi,” katanya.
Ikut menghadiri kegiatan ini Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Agus Suherman, Inspektur Jenderal KKP Muhammad Yusuf, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Suseno Sukoyono, mewakili Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) Istri Gubernur Sulut Rita Tamuntuan, Ketua Dharma Wanita Persatuan (DWP) KKP Muttiah R.S. Nilanto, Ketua Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia (Asbumi) Anthony Tanios , dan Anggota Asbumi Ratna Zhury Mahyuddin, serta Plt. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulut Tienneke Adam.*
Komentar tentang post