Darilaut – Sudah 22 tahun Loyan Arsad menekuni profesinya sebagai penangkap ikan tuna di Gorontalo. Nelayan yang kini berusia 38 tahun itu mengkhususkan ikan yang ditangkap spesies tuna sirip kuning atau yellowfin tuna.
Tuna sirip kuning termasuk salah satu jenis ikan yang membutuhkan keahlian untuk menangkap dengan menggunakan pancing.
Tinggal di Desa Olele, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, Loyan melaut dengan menggunakan perahu katinting.
Perairan Olele selama ini dikenal sebagai salah satu lokasi wisata bawah laut yang indah, dengan komposisi terumbu karang dan asosiasi ikan yang beragam.
Namun, Loyan dan nelayan di Desa Olele tidak bergantung dengan ikan-ikan yang berada di terumbu karang.
Kebanyakan nelayan di Olele menangkap ikan-ikan pelagis, seperti tuna sirip kuning, cakalang dan jenis lainnya yang jauh dari lokasi terumbu karang.
Loyan pernah mengalami masa paceklik selama lima tahun untuk mendapatkan ikan tuna di sekitar perairan Olele.
Meski mengalami masa paceklik ikan pelagis, Loyan tidak menangkap ikan di terumbu karang.
Di tahun 2000-an, Loyan mengadu nasib untuk mencari ikan tuna hingga ke Laut Maluku didekat Pulau Taliabu, Maluku Utara.
Dengan menggunakan perahu mesin tempel 15 PK, perjalanan ke Taliabu ditempuh selama tiga hari dan tiga malam.
Di Maluku Utara, Loyan menangkap ikan tuna selama empat hari. Kemudian balik lagi ke Olele. Perjalanan ke lokasi penangkapan dan saat menangkap ikan, hingga balik ke Olele, selama 10 hari.
Kini Loyan lebih banyak menangkap ikan di rumpon yang berjarak tiga sampai lima mil laut dari Olele.

Dari BBM Beralih ke LPG
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Loyan sudah mulai belajar menangkap ikan tuna. Profesi ini mulai digeluti penuh di usia 16 tahun.
Selama menjadi nelayan penangkap ikan tuna, Loyan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) bensin premium.
Pada akhir 2018, Loyan dan sejumlah nelayan di Olele mendapatkan bantuan program konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) atau Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Loyan mulai mempelajari bagaimana penggunaan bahan bakar gas untuk mengoperasikan perahu katinting untuk menangkap ikan.
Mengutip situs Migas.esdm.go.id, program konversi BBM ke LPG untuk nelayan, telah dilaksanakan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2016.
Hingga Juni 2021, total yang telah terkonversi untuk nelayan sebanyak 85.859 unit. Tahun ini, akan dibagikan sebanyak 28.000 unit paket konversi untuk nelayan.
Pemerintah dalam melaksanakan program konversi tersebut, menugaskan PT Pertamina, dalam hal ini Pertamina Patra Niaga selaku Sub Holding Commercial & Trading Pertamina.
Menurut Loyan, sejak menerima program konversi BBM ke LPG tersebut, biaya pengeluaran untuk mengoperasikan perahu katinting lebih hemat sampai 75 persen.
“Pakai bensin biaya yang keluar Rp 100 ribu, dengan LPG hanya Rp 21 ribu,” kata Loyan kepada Darilaut.id, Kamis (5/8).
Sebagai gambaran, menurut Loyan, setiap kali melaut, membutuhkan lebih kurang 10 liter bensin premium. Di Olele harga eceran bensin Rp 10 ribu per liter.
Sementara menggunakan LPG, biaya pengisian setiap tabung LPG Rp 21 ribu. Untuk melaut, Loyan hanya mengoperasikan 1 tabung LPG dan membawa 1 tabung cadangan.
Loyan mengatakan biasanya untuk melaut ini hanya butuh 1 tabung LPG. Saat ke lokasi rumpon, tempat penangkapan ikan tuna, dan balik lagi ke Olele hanya membutuhkan 1 tabung saja.

Pernah dalam sehari dengan menggunakan perahu katinting 9 PK dan LPG, Loyan dapat menangkap tiga ekor tuna sirip kuning. Ikan tuna yang ditangkap memiliki berat 63 kg, 40 kg dan 29 kg.
Dengan hasil tangkapan tersebut, hanya dalam sehari Loyan mengantongi hasil Rp 5 juta dari penjualan ikan tuna sirip kuning.
Penggunaan LPG di Perahu Katinting
Penelusuran Darilaut.id, masih terdapat beberapa nelayan yang sudah menerima program konversi BBM, tidak menggunakan lagi bahan bakar gas.
Menurut Loyan, nelayan yang tidak menggunakan lagi LPG karena faktor kemahiran mengoperasikan perahu katinting dan ketersediaan bahan bakar gas itu sendiri.
Seperti di Desa Olele, tidak ada pangkalan atau pengecer yang menjual LPG. Untuk mendapatkan LPG tersebut, Loyan harus ke desa tetangga yang jaraknya lebih kurang 3,5 kilometer.
Pangkalan LPG ini berada di Desa Tolotio, Kecamatan Bone Pantai, Bone Bolango. Selain jarak, faktor geografis yang harus dilalui ke Tolotio melalui jalanan yang menanjak dan tikungan tajam.
Faktor ini yang menjadi kendala dan sangat mempengaruhi nelayan yang akan membeli LPG.
Bila tiba dari melaut di malam hari, tidak mungkin nelayan akan langsung ke desa tetangga yang menjual LPG. Apalagi bila dini hari sudah harus kembali melaut.

Biasanya, untuk nelayan yang tiba malam hari dan esok paginya langsung melaut, akan menggunakan bensin premium. Karena bensin eceran dijual di Olele.
“Saya membeli bensin bila LPG kosong atau tiba malam dan akan melaut lagi pagi hari,” kata Loyan.
Setiap kali melaut, Loyan rata-rata mendapatkan 1 atau 2 ekor tuna sirip kuning. Saat ini harga tuna yang dibeli langsung di Olele Rp 40 ribu per kg.
Sebagai nelayan yang spesialis menangkap ikan tuna sirip kuning di perairan Teluk Tomini, sudah tiga tahun ini Loyan menggunakan LPG.
Tidak ada hambatan yang berarti dalam mengoperasikan perahu katinting dengan bahan bakar gas.
“Pakai LPG lebih irit, bagus,” ujar Loyan.
Selain lebih irit, LPG juga tercatat sebagai energi alternatif bagi nelayan yang dapat mengurangi emisi gas karbon monoksida atau gas buang, serta ramah lingkungan. (verrianto madjowa)
Komentar tentang post