BAGI para pelaut, nama Gita Ardjakusuma tidak asing lagi. Pada 1986, Gita menakhodai kapal pinisi untuk berlayar.
Tidak tanggung-tanggung. Rute yang ditempuh kurang lebih sejauh 11 ribu mil.
Captain Gita bersama sejumlah anak buah kapal, termasuk dua wartawan, menyeberangi Samudera Pasifik.
Kapal pinisi ini berlayar dari Jakarta, melewati Bitung, Sangihe Talaud dan Filipina.
Kemudian, kapal pinisi mengambil posisi ke Honolulu (Hawaii), terus ke Vancouver (Kanada). Dalam pelayaran ini, Gita memanfaatkan tiupan angin sebagai tenaga pendorong kapal.
Tidak selama perjalanan mengarungi samudera Pasifik menggunakan layar. “Bila kecepatan kapal dibawah 7 knot, menggunakan mesin,” kata Captain Gita kepada Darilaut.id.
Perjalanan kapal pinisi ini dari Jakarta ke Honolulu hanya menghabiskan 8 ton minyak. Jumlah bahan bakar minyak tersebut sudah sangat irit.
Gita adalah perwira TNI-AL. Pelayaran pinisi dari Jakarta ke Vancouver ditempuh selama 69 hari. Kapal pinisi ini memiliki panjang 35 meter, lebar delapan meter dengan tenaga mesin 100 PK.
Setelah 32 tahun pelayaran tersebut, Gita masih teringat secara rinci. Bahkan dengan bersemangat Gita berbagi cerita dan teknik berlayar dengan kapal pinisi kepada sejumlah tim Ekspedisi Pinisi Bakti Nusa.
Kepada tim ekspedisi pinisi, Gita berpesan agar ketika kapal pinisi berada atau melewati garis khatulistiwa, pada koordinat 0 derajat Lintang Utara-Lintang Selatan, melakukan prosesi mandi.
Ini tradisi bukan hanya bagi pelaut Indonesia. Tapi juga pelaut internasional.
“Pembaptisan pelaut pada koordinat 0 derajat Lintang Utara-Lintang Selatan,” kata Gita.
Gita mengatakan, untuk para ABK dan tim ekspedisi, membawa sarung tangan untuk digunakan menarik tali pada layar dan kegunaan lainnya.
Kapal layar menggunakan arus dan angin. Tidak selamanya dalam pelayaran, terdapat arus dan angin yang dapat mendorong kapal.
Pesan lainnya, tim ekspedisi membawa peluit dan berbagai macam bendera.*