Oleh: Dr. Funco Tanipu (Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)
Setiap ada keinginan, selalu ada penderitaan. Termasuk ingin menjadi baik. Tetapi, soal penderitaan, hanya soal takaran rasa. Bahwa tak ada yang disebut penderitaan, semua hanyalah ringkihnya mental kita dalam merasakan dampak dari yang kita perbuat.
Walaupun semua tujuan untuk kebaikan, namun dalam prosesnya tetap akan merasakan pedihnya perjuangan. Semisal negara ini didirikan, ada darah yang tumpah, ada ratusan ribu liter air mata yang meleleh, dan jutaan batang kepala yang ditebas.
Negeri ini didirikan atas niat baik, untuk tujuan yang luhur. Pada kebaikan dan keluhuran itu, semua penderitaan telah terlalui.
Hingga kita, selepas Orde Baru lewat, mulai bergairah untuk menaikkan bendera demokrasi. Dalam demokrasi yang sedang berlangsung, ada kehendak untuk satu orang, satu suara. Tak bisa diwakilkan.
Suara yang dimaksud adalah harapan, keinginan. Tentunya, ingin menjadi baik. Sayangnya, tak semua bisa terpenuhi dalam sejarah demokrasi, dimanapun demokrasi itu dicoba untuk ditegakkan. Selalu ada suara sumbang, ada juga protes hingga pemaksaan kehendak berupa pemakzulan pemimpin yang terpilih secara demokratis.
Orang protes dan bersuara lantang sebab harapannya, sekaligus keinginannya tak terpenuhi, tak berlaku. Di taraf itulah, banyak manusia tak mau menderita karena keinginannya diabaikan.