Darilaut – Kondisi awak kapal perikanan atau anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI) yang terlantar karena bekerja di kapal perikanan luar negeri kembali terjadi.
Sejumlah WNI yang bekerja sebagai ABK ini terkatung-katung di atas kapal. Selama 5 bulan gaji 8 ABK yang bekerja di kapal M/V Fa Yun belum dibayar pemilik kapal.
Para Pekerja Migran Indonesia (PMI) ini telah difasilitasi kepulangan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Manila, pada Minggu (16/5).
Pemulangan dilakukan atas permohonan para ABK dan perwakilan keluarga. Hal ini karena belum dibayarkannya gaji dan para ABK terkatung-katung selama lebih dari 5 bulan di atas kapal.
Hingga saat ini, tidak ada tindakan nyata untuk pemulangan dari pemilik kapal. Kondisi ini dipersulit dengan situasi pandemi yang tidak kondusif di Filipina pada dua bulan terakhir.
KBRI Manila sedang mengupayakan agar hak-hak para ABK dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sebelum dipulangkan, para ABK telah menjalani protokol kesehatan setempat berupa test PCR dan karantina ketat selama 10 hari di Manila.
Dalam proses pemulangan, KBRI Manila dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) bekerja sama dan berkoordinasi dengan instansi terkait yaitu Philippine Coast Guard, Biro Karantina Filipina, Biro Imigrasi Filipina, dan BP2MI.
Kuasa Usaha ad interim KBRI Manila mengantarkan secara khusus 8 PMI ABK tersebut untuk memastikan semua persiapan kepulangan mereka berjalan lancar.
Perwakilan ABK, Kapten Marthinus Boro juga menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan pemerintah Indonesia dan Filipina dalam proses pemulangan mereka.
Setibanya di Indonesia, para ABK menjalani protokol kesehatan berupa karantina dan tes PCR Covid-19 lanjutan sebelum kembali ke daerah masing-masing.
Dalam kasus lainnya, tidak banyak cerita sukses seorang awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Ada yang tak diberi upah, bekerja non stop 18 jam lebih, hidup tak layak, kekurangan gizi, dianiaya, dipukuli dan sebagainya.
Kejadian yang dialami awak kapal perikanan Indonesia di luar negeri ini terus berulang saban tahun. Tanpa ada kejelasan nasib mereka dan upaya pemerintah menghentikan tindakan perbudakan dalam bisnis perikanan.
Meski banyak kisah awak kapal perikanan Indonesia menghadapi dan mengalami perbudakan di kapal-kapal penangkap ikan asing, para pekerja di sektor ini terus bermunculan.
Rekrutmen melalui agen tenaga kerja dengan iming-iming gaji dan kehidupan yang lebih baik, membuat banyak orang Indonesia yang ingin bergelut sebagai awak kapal perikanan ini.
Akhir Mei 2019 kisah perbudakan awak perikanan Indonesia kembali menjadi sorotan media asing. Seperti di The South China Morning Post (SCMP), Agence France-Presse dan dw.com mengangkat kasus nelayan Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan China.
Dalam tayangan video melalui akun @SCMPNews dan @ajplus di Twitter, nelayan buruh Indonesia yang bekerja di kapal ikan Cina mengalami perlakuan yang tidak manusiawi. Puluhan awak kapal perikanan ini bekerja 18 jam sehari, dianiaya, kelaparan dan minum air tetesan kondensasi.
Pada Mei 2020 lalu, kondisi serupa juga diceritakan ABK Indonesia yang bekerja di kapal China Long Xing 629 bercerita kepada BBC News Indonesia mengenai pengalaman mereka bekerja di kapal itu.
Salah satu ABK Indonesia itu, BR, mengatakan tidak mampu bekerja di atas kapal ikan berbendera China itu, karena jam kerjanya yang di luar batas.
“Bekerja terus, buat makan (hanya dapat waktu) sekitar 10 menit dan 15 menit. Kami bekerja mulai jam 11 siang sampai jam 4 dan 5 pagi,” ujarnya dalam wawancara melalui video online.
Komentar tentang post