KONSUMSI ikan di dalam negeri paling cepat untuk menambah pendapatan bagi negara. Dalam diskusi yang diselenggarakan Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO), pengamat kelautan M “Ciput” Putrawidjaya mengatakan, saat ini konsumsi ikan di dalam negeri yang harus lebih dioptimalkan.
“Potensi dalam negeri yang dikejar,” kata Ciput, dalam diskusi dengan tema “Proyeksi Pertumbuhan dan Pendapatan Negara dari Sektor Kelautan 2019-2024, Sabtu (15/6).
Dua tahun lalu, gagasan ini pernah disampaikan Ciput dalam tulisan dengan judul “Optimalisasi Industri Pengolahan Ikan untuk Peningkatan Konsumsi Ikan Rakyat Indonesia” dalam buku: Pokok Pikiran ISKINDO, Evaluasi dan Akselerasi Poros Maritim Dunia, 2017.
Menurut Ciput, tingkat konsumsi ikan nasional diharapkan mencapai rata-rata 55 kg per kapita per tahun pada 2019.
Sekarang, tahun 2019, target ini sudah dicapai Indonesia, dengan konsumsi ikan di atas 50 kilogram per kapita per tahun.
Berikut gagasan Ciput dalam tulisan di buku tersebut.

SEBAGAI negara kepulauan, perikanan laut merupakan salah satu sumber protein utama orang Indonesia. Namun ironisnya, tingkat konsumsi ikan laut di Indonesia tergolong rendah, baru mencapai 41 kilogram (kg) per kapita per tahun (KKP, 2017).
Meski mengalami kenaikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, di kisaran 37-38 kg per kapita per tahun, tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih kalah jauh dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia (70 kg) dan Singapura (80 kg), bahkan kalah telak dengan Jepang (mendekati 100 kg).
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2017), tingkat konsumsi tertinggi terdapat di wilayah Maluku (55,13 kg), sedangkan tingkat konsumsi terendah justru di pulau Jawa, seperti Jawa Barat (31 kg), Jawa Tengah (25,26 kg), Yogyakarta (23,14 kg) dan Jawa Timur (31,07 kg). Tingkat konsumsi nasional ini diharapkan mencapai rata-rata 55 kg per kapita per tahun pada tahun 2019.
Pertama, budaya kuliner setempat. Di Pulau Jawa misalnya, ikan bukan merupakan menu utama makanan sehari-hari. Selain itu, varian produknya pun masih terbatas, masih didominasi oleh ikan segar (beku/frozen) dan produk olahan ikan tradisional (ikan asap, ikan asin, ikan kering, krupuk dan lain-lain). Sedangkan Kelompok Ikan Makanan Jadi (KIMJ) yang lebih kompleks proses produksinya (seperti bakso, nugget, sosis, dan lain-lain) masih merupakan menu tambahan.
Kelompok ikan Tuna Cakalang Tongkol merupakan jenis ikan yang paling banyak dikonsumsi (16.45 persen). Kemudian disusul dengan KIMJ seperti bakso, sosis, nugget, surimi dan lainnya (9,02 persen). Berturut-turut disusul oleh kelompok ikan Lele, Patin, dan Gabus (7,92 persen), Kembung (6,65 persen), Bandeng (5,43 persen), Mujair/Nila (5,26 persen), Udang dan Cumi (3,87 persen), Teri (3,36 persen), kelompok TCT asin (2 persen), dan ikan kembung asin (1,36 persen).
Kedua, rendahnya kualitas ikan dan hasil laut lainnya yang dijumpai di pasar-pasar lokal akibat penanganan ikan pasca tangkap yang masih serampangan dan tidak sesuai SNI, atau teknik produksi yang masih jauh dari sanitasi dan higienis. Termasuk sarana dan prasarana produksinya pun jauh dari standar keamanan pangan (food safety), seperti HACCP atau ISO 22000, seperti dapur produksi yang jorok, air baku yang kotor, bahkan menggunakan bahan berbahaya seperti formalin.
Untuk menjawab tantangan di atas, pertama, perlu diupayakan agar daya tahan produk lebilh lama sehingga dapat didistribusikan dan dikonsumsi oleh masyarakat yang lebih luas. Kedua, variasi pangan makin beragam dan menambah animo masyarakat untuk mengkonsumsi. Ketiga, gizi dan nutrisi pangan dapat lebih dicerna dan diserap oleh tubuh dalam bentuk molekul yang lebih ringan atau lebih sederhana.
Namun umumnya pelaku industri perikanan menghadapi permasalahan seperti kesulitan modal untuk memperbaiki kualitas produksi mereka yang memenuhi standar mutu dan keamanan pangan, serta kurangnya pengetahuan dan wawasan mereka sendiri akan pentingnya sanitasi dan higienis.
Oleh karena itu, beberapa terobosan kebijakan industri perikanan harus diterapkan.
Pertama, mendorong inovasi teknologi pengolahan hasil perikanan di lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi dan sekolah-sekolah vokasi, dan industri swasta, yang kemudian didorong untuk dihilirisasi ke industri pengolahan ikan. Inovasi meliputi teknologi pengawetan, penyimpanan, pengolahan, pengalengan dan lain-lain.
Kedua, mendorong tumbuhnya startups dan UMKM industri pengolahan ikan di pelabuhan-pelabuhan pendaratan ikan dan daerah penangkapan, agar ikan segar yang baru ditangkap dapat segera diolah dan disimpan atau diawetkan untuk selanjutnya didistribusikan ke pulau-pulau yang lebih padat penduduknya.
Memberikan pendampingan teknis pengembangan bisnis dan fasilitasi pembiayaan, pelatihan-pelatihan keamanan pangan (food safety) business matching, hingga channeling pemasaran, termasuk membangun sentra-sentra produksi bersama (coworking space) yang memenuhi standar keamanan pangan untuk digunakan bersama-sama oleh startups dan UMKM.
Ketiga, membangun jejaring logistik dan kapal-kapal pengangkut barang yang berlayar berkeliling ke sentra-sentra industri pengolahan ikan di Indonesia Timur dan pulau-pulau padat penduduk di Indonesia Barat. Inisiatif ini bisa disinergikan dengan Program Tol Laut dan memanfaatkan pelabuhan-pelabuhan perikanan yang mangkrak di Indonesia Timur.
Termasuk didalamnya membangun jalur logistik rantai dingin (cold chain) dengan menyediakan cold storage container di kapal-kapal pengangkut barang tersebut.
Keempat, mendorong peningkatan konsumsi ikan dengan kampanye berdagang ikan yang lebih intensif di segala lini pasar (tradisional, modern, e-marketplace/online), termasuk memberikan insentif pengurangan pajak (tax holiday). Kemudian, kemudahan membuka usaha, hingga subsidi ongkos kirim barang dari pasar kepada pembeli yang sering jadi kendala dalam bisnis online saat ini.*
Komentar tentang post