Videografer Danddy Dwi Laksono, melakukan penelusuran terhadap orang-orang Bajo, di Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato di Gorontalo. Orang Bajo terkenal sebagai pelaut yang ulung. Oleh peneliti dari Eropa mereka sering disebut sebagai gipsi laut karena kebiasaan mereka yang “no maden” atau berpindah-pindah tempat, dan menjadikan perahu sebagai tempat tinggal.
Namun julukan sebagai pelaut ulung yang sering melekat kepada orang Bajo itu sekarang semakin hilang seiring dengan adanya program “mendaratkan” suku Bajo oleh pemerintah, yaitu dengan cara membuatkan mereka rumah-rumah di darat. Orang-orang Bajo seolah dipisahkan dari laut. Dandhy Dwi Laksono yang melakukan ekspedisi jurnalisme bertajuk Ekspedisi Indonesia Biru dengan mengelilingi Indonesia menggunakan sepeda motor di tahun 2015, mendatangi perkampungan suku Bajo di ujung barat Gorontalo itu pada awal Juli 2018. Berikut adalah catatan singkatnya:
Jurnalis Muhammad Ridwan Alimuddin menemukan mereka dalam pelayaran di sekitar pulau Sipadan dan Ligitan tahun 2009. Jurnalis Farid Gaban bertemu dalam perjalanan di sekitar perairan Karimata tahun 2010. Beberapa jurnalis lain sempat merekam kehidupan mereka di perairan sekitar Marombo, Kendari, tahun 2013.
Tapi “penampakan” terbesar tercatat tahun 2015 di Berau, Kalimantan Utara, ketika aparat NKRI menggiring hingga 500-an jiwa untuk “didata”, “dipulangkan”, atau “dimukimkan” dengan dalih mereka adalah nelayan tanpa identitas dan kewarganegaraan.
Negara-negara yang baru seumur jagung seperti Indonesia, Malaysia, atau Filipina, sibuk mempersoalkan identitas sebuah suku maritim yang telah berabad hidup dan menjelajah dari Laut Cina Selatan hingga tersebar di Kepulauan Pasifik, bahkan Selandia Baru.
Hanya karena beberapa lembar kertas bernama paspor atau KTP, keberadaan mereka tak diakui beberapa negara. Indonesia menganggapnya “nelayan asing”, sementara Malaysia juga tak mengakuinya. Bandingkan jika menyangkut wilayah atau teritori seperti Sipadan dan Ligitan, bahkan Kepulauan Sparatly di Laut Cina Selatan yang diperebutkan setidaknya lima negara. Tapi tak tak ada yang berebut mengakui keberadaan manusia pengelana laut ini, selain melihatnya dari kacamata legal dan ilegal.
Atas nama “hidup yang lebih baik” pemerintah lalu membuat program memukimkan mereka di sejumlah pulau atau daratan. Tak sedikit dengan cara-cara pemaksaan dan intimidasi, seperti pengusiran di pulau-pulau tempat mereka berteduh dari badai jika tak dapat menunjukkan identitas. Atau pulau-pulau di mana nenek moyangnya dulu mencari air atau bertukar ikan dengan ubi pada warga setempat.
Dalam beberapa kasus seperti di pulau Bali Kukup (Kalimantan Utara), mereka terpaksa membeli surat jalan dari aparat pemerintah desa agar tidak ditangkap tentara atau polisi di tengah laut.
Padahal peradaban darat tak selalu mengajarkan kebaikan. Sejak bermukim, mereka justru mengenal bom ikan. Ikatan pada terumbu karang tak kuat lagi karena daratan menyediakan sumber-sumber ekonomi alternatif. Sebelumnya, alat tangkap paling masif adalah pukat atau jaring, selain tombak, panah, atau jerat, dan mustahil mereka menumpaskan terumbu karang tempatnya menggantungkan hidup setiap hari.
“Sekarang kalian mengusir kami, tapi saya ingat di mana karang kalian. Anak cucu saya kelak akan kembali.” Itu kutipan yang terkenal di warga Bali Kukup saat mereka merasa terusir. Orang yang “mengancam” dengan identifikasi lokasi karang, sulit dibayangkan akan menggunakan teknik-teknik penangkapan seperti bom ikan yang menumpaskan ekosistem karang itu sendiri.
Setelah peristiwa di Berau tahun 2015 silam, mencari keberadaan mereka di perairan Indonesia kini menjadi usaha yang hampir mustahil. Sebagian akhirnya menyiasati berurusan dengan negara dengan cara menerima program bantuan rumah di permukiman, tapi tetap mengelana di lautan, sekadar untuk mendapatkan identitas.
Tradisi “pongka” atau “maleppa” (tinggal di atas perahu yang disebut Leppa), masih dilanjutkan oleh beberapa keluarga meski jumlahnya semakin langka.
Setelah berbulan-bulan mencari dari Selat Makassar hingga menebar mata dan telinga di perairan Kendari sampai perairan pulau Bacan, Juli 2018 ini akhirnya kami menemukan sebuah keluarga sedang “maleppa” di sekitar Teluk Tomini dan mulai melakukan proses pengambilan gambar.
Berbeda dengan leluhurnya yang hidup berkelompok besar (extended family), kini mereka nyaris hanya bekerja dengan keluarga inti (nuclear family).
Kita menyebutnya: Orang Bajo.
Komentar tentang post