Darilaut – Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sedang mengembangkan teknologi penambangan skala kecil untuk mengolah bijih emas tanpa merkuri.
Teknologi ini selain menghapus penggunaan merkuri yang biasa digunakan penambang emas skala kecil juga berbiaya murah.
Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Ratno Nuryadi, mengatakan, polusi yang disebabkan merkuri telah memakan korban.
“Polusi merkuri dapat menyebabkan penyakit Minamata yang telah menyebabkan ribuan korban meninggal dan cacat seperti kelumpuhan, gangguan saraf, mati rasa, dan kanker di Minamata Jepang pada periode tahun 60-an,” kata Ratno.
“Belajar dari pengalaman tersebut maka kejadian yang sama tidak boleh terjadi di negara kita Indonesia.”
Salah satu aktivitas yang banyak menggunakan merkuri adalah Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK). Penambang menggunakan atau mengandalkan merkuri untuk mengolah bijih emas.
Menurut Prof Ratno aktivitas ini sebagian besar ilegal, sehingga menyulitkan pemerintah untuk menjangkau penambang emas melalui program-program yang bersifat pemberdayaan.
Untuk itulah, kata Ratno, Proyek GOLD-ISMIA (Global opportunities for Long Term Development – Integrated Sound Management of Mercury in Indonesia’s Artisanal and Small-scale Gold Mining Project) hadir.
Pada Rabu (7/12) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang didukung oleh United Nations Development Programme (UNDP) menggelar lokakarya dan pameran hasil Proyek GOLD-ISMIA tersebut.
Proyek GOLD-ISMIA bertujuan untuk membantu pemerintah dalam menghapus penggunaan merkuri sekaligus memberikan manfaat sebesar-besarnya dari kehadiran penambang emas skala kecil.
Sebagai bentuk bantuan, BRIN berusaha membantu masalah-masalah yang lekat dengan Pertambangan Emas Skala Kecil seperti aspek legalitas, aspek teknologi, aspek finansial, dan aspek keberlanjutan.
Dalam proyek 5 tahun ini, BRIN memiliki tanggung jawab untuk bekerja dari sisi teknologi sesuai dengan kompetensi yang dimiliki dan melakukan alih teknologi seperti memberikan metode atau cara-cara pengolahan bijih emas alternatif sebagai pengganti proses amalgamasi.
Menurut Ratno teknologi yang ditawarkan, harus dapat diimplementasikan atau dilakukan oleh penambang emas skala kecil. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi di antaranya metode yang sederhana, kompetitif bila dibandingkan dengan amalgamasi, berbiaya murah, termasuk dengan peralatan dan biaya operasional, serta mudah didapatkan di lokasi tempat penambang tinggal.
Kemudian, kata Ratno, karena bijih emas yang ada di Indonesia sangat bervariasi, maka tidak dapat diolah hanya dengan satu metode pengolahan saja. Proses pengolahan harus disesuaikan dengan bijih emas yang akan diolah.
Ratno mengatakan untuk dapat diimplementasikan di lapangan, pelatihan-pelatihan juga perlu dilakukan sebagai bagian dari pembiasaan penggunaan teknologi.
Pelatihan ini meliputi proses dan monitoring, serta pengendalian limbahnya. Pelatihan harus spesifik dan mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan lokal.
Selain kebutuhan proses alternatif, penambang emas juga membutuhkan formalisasi, agar dapat mudah dimonitoring baik sisi keselamatan, lingkungan, serta diharapkan dapat mengurangi konflik-konflik yang mungkin timbul atas penguasaan suatu area.
Selain keterlibatan dalam Proyek GOLD-ISMIA, hal ini untuk mendukung program Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM) melalui realisasi beberapa output yang telah diamanahkan oleh Peraturan Presiden No.21 Tahun 2022.
Komentar tentang post