Surabaya – Tol laut (pelabuhan yang disinggahi angkutan barang) masih kurang optimal dan belum memberikan dampak terhadap disparitas harga di daerah tertinggal, terpencil, terluar dan perbatasan. Hal ini karena terkendala kondisi shipping (pengiriman) yang memakan waktu lama, keterbatasan angkutan darat dan ketidakseimbangan supply barang.
“Serta terjadi praktek ekonomi negatif seperti monopoli, oligopoli dan kartel,” kata Kepala Bidang Pengembangan Teknologi dan Penunjang Penelitian, Puslitbang Transportasi Laut, Sungai, Danau dan Penyeberangan Balitbang Kemenhub, Bambang Siswoyo, Senin (23/7) di Surabaya.
Menurut Bambang, tingkat efektivitas penyelenggaraan Tol Laut di hinterland pelabuhan singgah belum efektif. Khususnya hinterland yang memiliki jarak yang cukup jauh dari pelabuhan singgah.
Hal lainnya, bila dilihat dari dampak sosial ekonomi di wilayah hinterland yang terkait dengan disparitas harga barang yang masih tinggi dan ketersediaan barang Tol Laut masih rendah. Selain itu, tingkat kemiskinan dan sumbangan sub sektor transportasi dalam PDRB yang masih rendah.
Seperti 10 daerah di hinterland Pelabuhan Dobo. Hanya di Dobo yang termasuk dalam kategori efektif pelayanan Tol Laut. Karakteristik wilayahnya merupakan gugusan pulau-pulau kecil dengan hambatan terkait kondisi cuaca yang tidak menentu. Karena itu, diperlukan penyediaan barang berupa buffer stock untuk mengantisipasi kekurangan barang pokok kebutuhan masyarakat.
Dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) Bambang mengatakan, dibutuhkan penambahan jaringan atau trayek tol laut. Khususnya pada daerah perbatasan, terluar, terisolir dan tertinggal, sehingga harapan Nawa cita dapat terwujud.
Untuk mengoptimalkan pelayanan ini, kata Bambang, perlu dibuat pelabuhan hub pada jaringan tol laut. Seperti di Timika, Tahuna, Biak dan Tobelo sebagai pelabuhan distribusi kepelabuhan-pelabuhan lokal yang skalanya lebih kecil. Dengan adanya pelabuhan hub ini diharapkan waktu pelayanan kapal tol laut dibawah 20 hari.
Bambang mengatakan, implementasi Tol Laut, secara konektivitas dapat dianggap baik. Namun belum mampu menjangkau seluruh daerah pelosok. Secara efektivitas dan efisiensi penetapan jaringan trayek masih belum optimal yang berdampak pada delivery time ke pelabuhan tujuan yang lama karena menggunakan trayek dengan skema pergerakan pendulum.
Selain itu, muatan balik dari luar Jawa ke Jawa harus lebih banyak agar efisiensi penggunaan kapal angkutan barang meningkat. Selama ini, angkutan barang dari jawa cukup banyak, muatan balik masih sedikit.
Dibutuhkan adanya pertumbuhan simpul-simpul di luar jawa agar menjadi pusat produksi. Dengan demikian, akan menghasilkan barang yang dapat dipasarkan di Pulau Jawa atau membawa raw material yang dibutuhkan di pusat produksi Pulau Jawa.
“Usaha ini harus dilakukan secara bersinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan swasta,” kata Bambang.
Tol Laut harus dikembangkan sebagai pusat pelayanan logistik. Seperti penerapan “Rumah Kita” di beberapa pelabuhan atau kota yang telah ditunjuk agar mendekatkan pasar dan sub distribusi logistik ke masyarakat.
FGD yang diselenggarakan Kemenhub ini mengambil tema “Evaluasi Kegiatan Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang Di Laut Dan Pengembangan Trayek Tol Laut.”
Sementara itu, Prof Nyoman Pujawan, Ph.D, CSCP dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengatakan realisasi tahun 2017 hanya 41 persen dari tonase yang direncanakan. Hal seperti ini perlu dianalisis penyebabnya.
Muatan balik juga hanya 3.9 persen. Berarti tidak ada upaya untuk memicu terjadinya muatan balik. “Diperlukan kolaborasi lintas Kementerian,” katanya.*
Komentar tentang post