Jakarta – Ketua Harian Dewan Pengurus Pusat (DPP) Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO), Moh Abdi Suhufan mengatakan, kegiatan dalam dunia selam di Indonesia masih dikuasai asing. Akibat dominasi ini telah menimbulkan ketergantungan dan kerugian negara sebesar Rp 1,5 Triliun.
“Akibat kegiatan selam dikuasai asing, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,5 triliun,” kata Abdi, Rabu (11/7) di Jakarta. Selama ini, aktivitas penyelaman baik jasa kelautan dan pekerjaan komersil lainnya dilakukan secara ilegal, yakni dengan tidak membayar pajak pada negara.
Menurut Abdi, Indonesia masih mengalami hambatan dalam mengoptimalkan pemanfaatan laut, melalui pengembangan jasa kelautan. Karena kegiatan selam dan bidang pekerjaan komersil bawah laut masih dikuasai asing.
Sejauh ini, pemerintah belum mengatur regulasi tentang bidang pekerjaan komersil bawah laut serta layanan selam untuk pariwisata. Itu sebabnya, mesti ada upaya serius dari pemerintah dan stakeholder kelautan untuk membenahi masalah ini.
Aktivitas ini, kata Abdi, dilakukan pihak asing melalui asosiasi dan lembaga sertifikasi asing yang berbisnis di Indonesia. Praktik tersebut sudah berlangsung lama dan merugikan negara.
Kegiatan selam yang dikuasai asing meliputi, layanan kepariwisataan dan bidang pekerjaan komersil. Antara lain, survei bawah laut yang sertifikasinya dikeluarkan oleh asosiasi dan lembaga asing yang melakukan bisnis di Indonesia. “Saat ini ada sekitar 8-10 lembaga asing yang beroperasi di Indonesia dari negara Amerika, Jepang, Kanada dan Inggris,”ujarnya.
Untuk bidang kepariwisataan layanan selam, pasar mereka meliputi sertifikasi dive center yang melakukan usaha selam. Selain itu, sertifikasi instruktur selam dan sertifikasi dive master. Ada juga jenis sertifikasi lain, seperti survei bawah laut, pengelasan bawah laut, perpipaan dan pekerjaan di sektor migas.
“Setiap dive centre mesti membayar Rp 30-40 juta, saat ini ada sekitar 800 dive center di Indonesia’ kata Abdi.
Hal ini ditambah lagi dengan semakin meningkatnya kebutuhan tenaga selam profesional yang jumlahnya mencapai ratusan orang per tahun. Akibat praktik ini, menurut Abdi, pertumbuhan tenaga selam di Indonesia tergolong lambat, karena mahalnya biaya mendapatkan sertifikasi selam. Ironisnya, hal ini berbanding terbalik dengan keinginan pemerintah dalam mendorong perkembangan pariwisata khususnya wisata bahari.
Sementara itu, Ketua Bidang Sertifikasi Profesi Kelautan DPP ISKINDO, Amiruddin mengatakan pemerintah dan stakeholder kelautan Indonesia harus segera melakukan konsolidasi guna mengurangi dominasi asing di dunia bawah laut Indonesia. “Pemerintah mesti segera mengatur dan membuat regulasi tentang sertifikasi pekerjaan bawah laut, serta lembaga atau asosiasi yang menjalankan bisnis ini di Indonesia dengan label merah putih” kata Amiruddin.
Pekerjaan bawah laut memang memiliki risiko tinggi dan mesti ada standarisasi. Namun, sumber daya manusia bangsa ini sudah mempunyai kemampuan untuk menghasilkan hal tersebut.
Pemerintah perlu mendorong agar penyediaan layanan sertifikasi selam profesional dan pekerjaan komersil untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam negeri dan berbiaya murah. Biaya yang selama ini dikeluarkan untuk sertifikasi pekerjaan bawah laut terbilang mahal. Sehingga Indonesia kekurangan sumber daya manusia terampil untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja bawah laut.*
Komentar tentang post