Darilaut – Kemiskinan nelayan turut dipengaruhi oleh faktor yang mengancam rentannya hidup di pesisir, salah satunya adalah perubahan iklim. Kerentanan nelayan ini erat kaitannya dengan kemiskinan dan rendahnya kemampuan adaptasi.
Jumlah nelayan miskin di Indonesia pada tahun 2019 mencapai angka 14,58 juta jiwa. Angka ini menyumbang sebesar 25% kemiskinan nasional.
Periset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Gita Mulyasari, mengatakan, kemiskinan nelayan perikanan tangkap dipengaruhi oleh tiga dimensi, yaitu kesehatan, edukasi, dan standar hidup.
Dari sisi kesehatan terdapat indikator yang mempengaruhi yaitu nutrisi dan mortalitas anak. Sisi edukasi, indikator yang mempengaruhi adalah tahun bersekolah (lama sekolah) dan kehadiran di sekolah.
Sedangkan dari sisi standar kehidupan, dipengaruhi oleh indikator seperti bahan bakar untuk memasak, sanitasi, air bersih, listrik, dan kepemilikan aset.
Dalam acara “Kuliah Tamu – Monitoring dan Evaluasi Berjalan untuk seluruh kegiatan Postdoctoral dan Visiting Researchers” yang digelar Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup (PR SPBPDH) BRIN, Gita membahas keberlanjutan sektor strategis di Provinsi Bengkulu mengenai perikanan tangkap dan perkebunan kelapa sawit rakyat.
Salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi adalah bagaimana menghadapi trade-off antara pemenuhan kebutuhan pembangunan di satu sisi dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan di sisi lain.
Bengkulu memiliki topografi yang sangat lengkap sehingga potensi pertanian di sana sangat besar.
Namun Bengkulu menjadi kota termiskin nomor 2 di Pulau Sumatera, dan termiskin nomor 7 di Indonesia.
Jadi dari segala potensi yang besar ini, belum mampu meningkatkan ekonomi di Provinsi Bengkulu.
Nelayan di Bengkulu juga sangat identik dengan kemiskinan, karena nelayan sangat dipengaruhi oleh climate change di mana daerah Bengkulu ini merupakan pusat iklim dunia, kata Gita.
Pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri, karena pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas.
Pembangunan berkelanjutan adalah sebagai upaya manusia untuk memperbaiki mutu kehidupan dengan tetap berusaha tidak melampaui ekosistem yang mendukung kehidupannya.
Dari sektor perikanan tangkap skala kecil, Gita melakukan penelitian untuk menganalisis status keberlanjutan dan dimensi keberlanjutan usaha perikanan tangkap skala kecil di Provinsi Bengkulu.
Sedangkan dari sektor perkebunan kelapa sawit rakyat, tujuannya adalah untuk menganalisis social-life assessment (S-LCA), status keberlanjutan, dan dimensi keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat di Provinsi Bengkulu.
Gita menjelaskan bahwa dimensi keberlanjutan perikanan tangkap terdiri dari dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial. Keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil, terdiri dari dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan.
Adapun dimensi keberlanjutan dari perkebunan kelapa sawit rakyat, menurut Gita, terdiri dari dimensi lingkungan, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial.
Status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil yang digambarkan dalam diagram layang nilai indeks keberlanjutan tangkap skala kecil, dimensi ekonomi memiliki nilai paling kecil, yaitu 33,22%.
Social-Life Cycle Assessment perkebunan kelapa sawit rakyat dipengaruhi oleh fluktuasi harga, berbeda dengan nelayan. Nelayan lebih kompleks dan sangat bergantung dengan kondisi iklim dan cuaca, sehingga untuk nelayan belum dikaji dahulu, ujarnya.
Status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat hanya dimensi ekonomi yang menunjukkan berkelanjutan, sedangkan dimensi lingkungan dan ekonomi memiliki status cukup berkelanjutan.
Semua data tersebut didapatkan dengan metode penelitian multidimensinal scale method.
Komentar tentang post