Darilaut – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace Indonesia meminta pemerintah lebih jeli dalam mengkaji permasalahan awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di kapal perikanan luar negeri.
Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno mengatakan, pemerintah seharusnya lebih jeli mengkaji apakah ABK perikanan kita selama ini berangkat secara mandiri, atau pada kenyataannya tetap melalui agen penempatan di Indonesia yang bekerja sama dengan agen-agen perekrut di luar negeri.
Menurut Hariyanto, jangan-jangan pemerintah selama ini luput mengawasi sejumlah perusahaan yang menjalankan upaya perekrutan dan penempatan, tetapi mereka tidak memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan, bahkan patut diduga melakukan bisnis tindak pidana perdagangan orang.
“Pemerintah harus melakukan langkah lebih cepat untuk memeriksa sepak terjang dari perusahaan-perusahaan perekrut di Indonesia yang diduga melakukan perekrutan dan penempatan secara unprosedural dan tidak sesuai dengan norma-norma umum yang sudah ditetapkan dalam UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia,” kata Hariyanto, dalam siaran pers yang dikutip dari situs Greenpeace.org/indonesia, Minggu (10/5).
SBMI dan Greenpeace Indonesia menyambut baik langkah Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) untuk mendorong percepatan harmonisasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perlindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan. Meskipun demikian, hal tersebut juga perlu disikapi secara kritis.
Rapat virtual lintas kementerian dan lembaga (K/L) yang dipimpin oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, pada Jumat, 8 Mei 2020, yang fokus membahas persoalan dugaan eksploitasi serius terhadap ABK Indonesia di atas kapal ikan berbendera Tiongkok milik Dalian Ocean Fishing Co., Ltd., menunjukkan adanya peningkatan perhatian dan kesadaran, serta peran Kemenko Marves dalam menjalankan fungsi koordinasi K/L untuk menyelesaikan amburadulnya tata kelola perlindungan ABK Indonesia.
SBMI bersama dengan Greenpeace telah mengungkapkan ada 6 perusahaan yang juga perlu menjadi prioritas evaluasi dan penegakan hukum terkait berbagai dugaan pelanggaran dalam perekrutan dan penempatan ABK Indonesia dalam sejumlah kasus, yaitu: (1) PT Puncak Jaya Samudra (PJS), (2) PT Bima Samudra Bahari (BSB), (3) PT Setya Jaya Samudera (SJS), (4) PT Bintang Benuajaya Mandiri (BBM), (5) PT Duta Samudera Bahari (DSB) dan (6) PT Righi Marine Internasional (RMI).*
Komentar tentang post