Darilaut – Sebanyak 428 sensor seismograf telah terpasang di seluruh wilayah Indonesia. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan sebelumnya telah terpasang sebanyak 411 sensor dalam Jaringan Sistem Monitoring Gempabumi.
Dengan tambahan 17 sensor ini, maka saat ini telah terpasang 428 sensor. Pemasangan seismograf dengan kode Sensor SYJI menandai dimulainya instalasi 17 seismograf di seluruh wilayah Indonesia.
Pemasangan 17 sensor seismograf dengan kode Sensor SYJI tersebut telah diresmikan di Kecamatan Candi Abang, Yogyakarta, Sabtu (18/12).
Adapun penentuan jumlah dan lokasi penempatan sensor, kata Dwikorita, berdasarkan historis sumber-sumber gempabumi yang telah terjadi yaitu pertemuan antar lempeng tektonik seperti Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik dan Lempeng filipina, serta sesar/patahan aktif yang telah teridentifikasi.
Hal tersebut telah dievaluasi dan diperhitungkan oleh BMKG bersama Tim Ahli dari Insititut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) dibawah koordinasi Prof Nanang Puspito.
“Pembangunan shelter dan jaringan seismograf ini diperlukan untuk merapatkan jaringan guna meningkatkan performa kecepatan dan keakuratan informasi dan peringatan dini tsunami di BMKG,” kata Dwikorita.
“Dengan adanya penambahan seismograf ini, kami ingin maksimalkan dalam memberikan layanan informasi cuaca, iklim, gempa bumi serta tsunami secara cepat, tepat, dan akurat,” ujarnya.
Dwikorita mengatakan, sejak tahun 2016, BMKG semakin menyadari bahwa Indonesia adalah wilayah yang sangat rawan bencana namun tidak dibekali dengan persenjataan teknologi yang canggih. Atas dasar itulah, BMKG terus melakukan penambahan dan pembaharuan alat dan teknologi guna menjaga keselamatan masyarakat terhadap bencana.
Termasuk pemasangan sensor gempa di Kawasan Candi Abang, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, ini dilakukan untuk meningkatkan kecepatan dan akurasi informasi peringatan dini gempa besar dan tsunami kepada masyarakat. Mengingat wilayah Yogyakarta sendiri memiliki potensi kegempaan yang bersumber dari sesar-sesar aktif seperti sesar naik Opak dan zona subduksi (lempeng indo-Australia dan lempeng Eurasia) di selatan Jawa.
Menurut Dwikorita, meskipun fenomena gempabumi dan tsunami tidak dapat diprediksi, namun dampaknya dapat diminimalisir melalui kecepatan analisa gempabumi dengan jaringan seismograf yang rapat, pemodelan tsunami yang presisi, penyebaran informasi yang meluas ke masyarakat dan pendidikan mitigasi bencana yang tepat.
Pemasangan seismograf dengan kode Sensor SYJI telah masuk dengan baik dalam sistem Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS).
Keberadaan Sistem Monitoring dan Peringatan Dini Tsunami, lanjut Dwikorita merupakan wujud kemajuan dan kesiapsiagaan Indonesia dalam upaya mencegah, atau paling tidak dalam upaya mengurangi dampak dari bahaya gempa bumi dan tsunami, yang dapat timbul kapan saja dan di mana saja.
“Ini ikhtiar BMKG untuk menjaga bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman Gempa Bumi dan Tsunami. Semoga masyarakat Indonesia semakin sadar dan juga tangguh dalam menghadapi bencana,” ujarnya.
Sementara itu Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami, Bambang Prayitno mengatakan frekuensi gempa bumi di Indonesia setiap tahun cenderung terus meningkat. Jika dalam kurun waktu 2008-2016 rata-rata terjadi sebanyak 5.000-6.000 kali dalam setahun, maka di tahun 2017, jumlahnya meningkat menjadi 7.169 kali.
Angka tersebut kemudian naik kembali di tahun 2019 menjadi lebih dari 11.500 kali. Dalam hal bencana tsunami, selama periode tahun 1600 – Oktober 2021, telah terjadi 246 kali tsunami di Indonesia.
Ke depan, menurut Bambang, BMKG akan terus berusaha dan berupaya untuk menambah sensor yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, sehingga dengan semakin rapatnya jaringan sensor tersebut dapat meningkatkan kecepatan dan ketepatan, juga akurasi perhitungan magnitudo gempabumi.
Komentar tentang post