PEMBUANGAN air pendingin mesin (air bahang) dari aktivitas industri ke daerah pantai berkontribusi dalam kenaikan suhu air di pesisir yang dapat merusak terumbu karang. Selain industri, air bahang juga berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Kebutuhan energi yang tinggi menyebabkan pembangunan PLTU yang masif di Indonesia. “Dewasa ini, Indonesia sudah memiliki sekitar 37 PLTU dan ada kemungkinan untuk bertambah,” ujar Dian Saptarini dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) di Ruang Sidang Utama Gedung Rektorat ITS, Senin (11/3).
Dian meneliti terumbu karang sebagai parameter biologi untuk pengendalian pencemaran panas. Karang sangat sensitif pada perubahan suhu.
“Oleh karenanya, saya ingin meneliti terumbu karang sebagai parameter biologi kerusakan lingkungan, sehingga bisa dihasilkan pendekatan yang mengintegrasikan pengaruh peningkatan suhu dan kerusakan karang dalam tahapan manajemen pembuangan air bahang di pesisir,” kata Dian yang juga ketua koordinator program ITS Smart Eco Campus ini.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki garis pantai yang sangat panjang dan dihuni beraneka ragam kehidupan biota laut, salah satunya karang.
Dian yang juga dosen Biologi ITS mengatakan, karang memproduksi kapur yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik.
Karang hermatipik ialah karang yang mampu membentuk bangunan karang atau terumbu, sedangkan karang ahermatipik tidak mampu membentuk terumbu. Dalam persebarannya, karang hermatipik tumbuh di daerah tropis, sedangkan karang ahermatipik tersebar di seluruh dunia.
Indonesia secara geografis berada di daerah yang beriklim tropis, sehingga Indonesia memiliki keanekaragaman hayati berupa terumbu karang yang melimpah di daerah pesisir. Namun, aktivitas pembuangan air pendingin mesin (air bahang) oleh industri berdampak pada kenaikan suhu perairan pesisir.
Karang bisa dianalogikan sebagai hutan hujan tropisnya laut atau sea forest. Peran dari karang bagi bumi sama seperti peran hutan hujan tropis, yaitu mereduksi emisi karbon.
Selain itu, karang menjadi tempat tinggal dan tempat berkembangbiaknya biota laut. Namun, pembuangan air bahang dari industri ke laut telah merusak karang, sehingga mengalami coral bleaching atau pemutihan karang.
Coral bleaching adalah proses menghilangnya warna karang menjadi putih yang diakibatkan oleh degradasi populasi zooxanthellae yang bersimbiosis dengan karang. Degradasi ini menyebabkan karang menjadi mati dan fungsinya dalam mereduksi emisi karbon dan tempat tinggal serta berkembang biak biota laut menjadi hilang.
“Karang yang berada di daerah yang mengalami kenaikan suhu akibat air bahang berkarakteristik seperti batu, sedangkan karang yang berada di perairan yang ideal memiliki karakteristik bercabang-cabang,” ujarnya.
Dian menemukan bahwa peningkatan suhu yang dapat ditolerir oleh karang kurang lebih 2,3℃. “Suhu ideal karang tumbuh ialah 26 – 30℃, maka batas ambang ekologi yang bisa ditolerir karang untuk tetap bertahan adalah 32℃,” katanya.
Menurut Dian, hasil penelitian ini berlaku secara universal, meski masih sebatas pada area tropis. Selain itu, masih banyak hal yang bisa dikembangkan lagi untuk melengkapi penelitian ini.
Dian mengatakan, topik bagaimana karang bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan atau fase perkembangan karang adalah beberapa contoh topik yang bisa diteliti untuk melengkapi temuan ini.
Kebutuhan energi di Indonesia yang tinggi menjadi salah satu penyebab tingginya pembuangan air bahang yang masif. Dengan diketahuinya ambang batas ekologi karang, Dian berharap pembangunan untuk memenuhi kebutuhan energi ke depannya bukan sekedar membangun. Tapi juga memperhatikan di mana kita membangun, dan dampak apa yang bisa terjadi akibat pembangunan itu.*
Sumber: its.ac.id
Komentar tentang post