Jakarta – Indonesia tengah memperjuangkan hak laut (ocean rights) dan berupaya mendapatkan dukungan persetujuan internasional untuk pemberantasan kejahatan lintas negara dalam industri perikanan yang terorganisir.
“Di Indonesia, tak hanya melakukan penangkapan ikan secara ilegal, kapal ilegal asing juga melakukan penyelundupan obat-obatan, hewan dilindungi, perbudakan dan perdagangan manusia,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang menjadi salah satu pembicara dalam forum kerja sama kemitraan “Friends of Ocean Action” di Park Hyatt Hotel, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), Selasa (5/6).
Forum ini dihadiri para ilmuwan, penggiat sektor teknologi, pelaku bisnis, dan organisasi non pemerintah (NGO) dari berbagai negara. Dalam forum tersebut dibicarakan upaya pemberantasan Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing melalui ratifikasi the Port State Measures Agreement (PSMA), subsidi perikanan, hingga kawasan perlindungan laut (Marine Protected Areas). Tujuannya sejalan dengan The Sustainable Development Goals (SDGs) ke 14, yaitu melestarikan dan menggunakan sumber daya laut secara berkelanjutan.
“Baru-baru ini, kami (Indonesia) menemukan modus baru, di mana kapal perikanan asing masuk ke wilayah Indonesia secara bergerombolan dan dilindungi oleh coast guard dan kapal pengawas perikanan dari negaranya. Jadi selama ini yang kami temukan, semakin dilarang, mereka semakin berusaha menemukan modus dan cara-cara lain untuk menghindar,” katanya.
Karena itu, menurut Menteri Susi, dalam mencapai target 2020 Samudera Pasifik bebas IUU Fishing diperlukan kerjasama yang erat antar negara. Sektor bisnis diharapkan mengambil tindakan untuk mengendalikan rantai pasokan, sementara sektor pemerintah mengontrol akses ke pelabuhan dan membuat sistem pendataan untuk mendukung usaha yang sudah dilakukan.
“Tanpa kepemimpinan dan dukungan politik yang kuat, langkah-langkah luar biasa apa yang dimiliki Indonesia dalam memerangi IUU Fishing tidak akan bertahan,” ujarnya.
Forum Friends of Ocean Action merupakan kelanjutan dari komitmen yang telah diumumkan pada World Economic Forum Annual Meeting di Davos, Switzerland 2018 lalu. Kerja sama antar sektor global ini diharapkan dapat menjembatani berbagai macam gagasan antara organisasi non-pemerintah dengan pemerintah, sejalan dengan High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy.
Jejaring Friends of Ocean Action mendorong aksi nyata untuk mengakhiri polusi plastik pada tahun 2025, memperluas area perlindungan laut, memastikan keamanan pangan dari Samudera dan mengatasi permasalahan IUU Fishing melalui ratifikasi PSMA dan komitmen dari pengecer tentang transparansi makanan laut dan rantai pasokan makanan. Selain itu, mengurangi pengeluaran karbon sektor kelautan dan pelayaran, membuat platform terbuka Ocean Data dan meningkatkan stabilitas keuangan untuk inovasi bidang kelautan.
Tujuannya adalah menciptakan Samudera Pasifik bebas IUU Fishing pada tahun 2020, mendorong investasi sektor bisnis pada wilayah konservasi dengan sistem monitoring dan pengaturan yang tepat sehingga tercapai target 30 persen wilayah laut terlindungi di tahun 2030 dan mendukung pembuatan sentralisasi Ocean Data. Kemudian, memastikan komitmen nelayan tuna terhadap rencana perikanan berkelanjutan dan keterbukaan data stok tuna pada tahun 2020, membangun dan meluncurkan inisiatif pembiayaan pada inovasi sektor kelautan dan menghilangkan subsidi perikanan yang berbahaya (harmful fisheries subsidies).
Susi mengatakan, Indonesia sejak awal telah mendukung inisiatif Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yang mendorong pemberdayaan pelabuhan perikanan untuk mengawasi praktik IUU Fishing melalui ratifikasi PSMA. Saat ini semakin banyaknya negara ikut meratifikasi PSMA. Namun, untuk mencapai tujuan menjadikan Samudera Pasifik bebas IUU Fishing di 2020, ratifikasi PSMA saja tidak cukup.
Indonesia bahkan telah membuka data Vessel Monitoring System (VMS) kepada publik sebagai bentuk transparansi pengelolaan perikanan, agar masyarakat luas dapat ikut mengawasi aktivitas kapal perikanan Indonesia.
“Kami telah melakukan banyak hal untuk memberantas illegal fishing, tetapi kami juga menyadari usaha tersebut tak pernah cukup. Oleh karena itu, kemauan politik sangat penting. Ratifikasi PSMA adalah hal yang bagus, tetapi akan menjadi macan tanpa taring tanpa pelarangan transhipment dan dukungan politik yang kuat,” kata Susi.
Hal ini terjadi karena masih banyak kapal perikanan yang tidak melaporkan hasil tangkapannya ke pelabuhan. Banyak yang melakukan kegiatan transhipment (bongkar muat) di tengah laut ke kapal-kapal lain dengan berbagai modus yang tersusun rapi.
“Mereka (kapal perikanan) memasang VMS, tetapi mereka memiliki kapal-kapal lain yang serupa bentuk, warna, nama, dan ukurannya tanpa VMS yang bisa terus menangkap ikan tanpa diketahui. Ketika satu kapal butuh perbaikan, mereka memindahkan VMS tersebut ke kapal lainnya,” ujar Susi.
Menteri Susi menilai usaha ratifikasi PSMA dan transparansi data VMS kapal perikanan yang telah dilakukan Indonesia belum cukup. Apalagi sekadar ratifikasi PSMA tanpa pembukaan data VMS yang dilakukan beberapa negara.
Memang tidak bisa meminta setiap negara membuka VMS mereka secara sukarela. Banyak negara bahkan tidak melakukan keduanya, tidak meratifikasi PSMA dan tidak membuka data VMS, termasuk negara konsumen produk perikanan terbesar di dunia sekalipun. “Tidak ada seorang pun yang bisa memaksa,” katanya.
Menurut Susi, Indonesia beruntung memiliki regulasi negara yang memperbolehkan penenggelaman kapal pelaku illegal fishing sehingga memberi efek jera bagi para pelaku. Ditambah dengan kebijakan moratorium (penghentian operasi) kapal eks-asing di perairan Indonesia, evaluasi dan analisis kebijakan perikanan, dan pembentukan Satuan Tugas Khusus Pemberantasan Illegal Fishing (Satgas 115) yang dilakukan empat tahun belakangan, sehingga aktivitas illegal fishing di Indonesia dapat ditekan seminimal mungkin.
Menteri Susi juga menginginkan agar komunitas internasional setuju dan berkomitmen penuh melawan organisasi pelaku kejahatan perikanan yang bukan sekadar nelayan.
“Saya tidak setuju dengan pernyataan, kamu tak seharusnya memperlakukan mereka (pelaku IUU Fishing) seperti seorang kriminal, mereka hanya nelayan. Mereka berlayar di ¾ wilayah dunia, pergi ke Galapagos dan menangkap 400 ton hiu yang dilindungi dunia dan Anda masih menyebut mereka nelayan? Saya sangat tidak setuju,” ujar Susi.*
Komentar tentang post