Darilaut – Salju yang ada di Puncak Jaya, Pegunungan Cartenz, Papua – Indonesia, terus mengalami pencairan. Salju abadi yang tersisa di Puncak Jaya tersebut, menuju kepunahan akibat perubahan iklim.
Fenomena ini terjadi– diduga kuat berkaitan dengan pemanasan global dan perubahan iklim yang sedang terjadi di seluruh dunia.
“Dalam beberapa dekade terakhir dilaporkan terjadi penurunan drastis luas area salju abadi di Puncak Jaya,” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, Selasa (22/8).
Dwikorita menyampaikan hal ini pada seminar ilmiah dengan tema “Salju Abadi Menjelang Kepunahan: dampak Perubahan Iklim?” di Auditorium Kantor Pusat BMKG, Jakarta.
Mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua, sebagai bukti nyata bagaimana perubahan iklim memberikan dampak yang tidak baik bagi kehidupan.
Keberadaan salju abadi yang menjadi kebanggaan Indonesia itu kini terancam punah dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini tentu menjadi kehilangan yang sangat signifikan bagi bangsa Indonesia.
Melansir BBC Indonesia salju terakhir di puncak sekitar Gunung Puncak Jaya, terancam hilang pada 2026 akibat pemanasan global dan perubahan iklim, termasuk El Nino.
Buat masyarakat adat di sekitar puncak, gunung bersalju dianggap sakral. Area ini juga menjadi habitat bagi satwa langka termasuk Dingo, anjing bernyanyi dari Papua.
Maximus Tipagau (39), masyarakat adat Suku Moni yang mendiami Kampung Ugimba, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, mengenang salju yang memenuhi memorinya sejak kecil.
“Salju ini bisa kami rasakan di kampung. Dinginnya saya bisa merasakan sampai hari ini. Setiap hari itu kami menikmati hujan es,” ujar Maximus saat berbincang dengan BBC.
Dari sekian banyak puncak, ada satu puncak sakral yang dinamai masyarakat adat Moni sebagai “Gunung Somatua”.
Somatua dipercaya menjadi penerang dan cahaya bagi mereka.
Somatua berasal dari bahasa setempat yang berarti terang sepanjang siang dan malam.
“Kalau siang dari cahaya matahari, kalau malam dari (pancaran) es. Kalau es hilang, maka cahaya akan hilang,” ujarnya.
Maximus serta masyarakat adat Suku Moni lainnya adalah satu dari beberapa suku yang tinggal di daerah pegunungan di Papua Tengah.
Kampungnya, Ugimba, adalah desa tertinggi di Indonesia yang berada di 3.000 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Ugimba berada di sekitar tiga puncak bersalju di Papua yang merupakan puncak tertinggi antara Gunung Himalaya dan Pegunungan Andes. Ketiganya yakni Puncak Carstensz (4.884 mdpl), Puncak Sumantri (4.808 mdpl) dan Puncak Ngga Pulu atau Soekarno (4.862 mdpl).

Pada awal abad 20, saintis memetakan tutupan atau lapisan es yang disebut gletser di kawasan pegunungan ini. Setidaknya, terdapat tujuh puncak bersalju, yakni East Northwall Firn, West Northwall Firn, Meren, Carstensz, Wollaston, Van de Water, dan Southwall Hanging.
Namun, karena perubahan suhu dan iklim, kini salju yang ditemukan hanyalah East Northwall Firn dan Carstensz.
Kepunahan salju abadi di Puncak Jaya memiliki dampak besar bagi berbagai aspek kehidupan di wilayah tersebut dan ekosistem yang ada di sekitar salju abadi menjadi rentan dan terancam.
Dampak lain dari mencairnya es di Puncak Jaya adalah adanya kontribusi terhadap peningkatan tinggi muka laut secara global.
Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) gletser, Greenland, dan lapisan es Antartika yang mencair semakin cepat telah menyumbang sekitar 50 persen kenaikan permukaan laut.
Hal ini memberikan dampak di negara-negara berkembang pulau kecil dan daerah pesisir yang padat penduduk.
Siaran pers WMO yang diterbitkan Senin 29 Mei 2023 menjelaskan bahwa kenaikan permukaan laut karena es dan gletser.
Gletser adalah lapisan besar es yang bergerak turun perlahan-lahan di lereng gunung atau di dataran.
Gletser salah satu indikator iklim yang dipantau oleh WMO dan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim IPCC).
Laporan WMO State of the Global Climate 2022 juga telah menyoroti perubahan yang cepat tersebut.
Gletser referensi (yang telah diobservasi jangka panjang) mengalami perubahan ketebalan rata-rata lebih dari −1,3 meter antara Oktober 2021 dan Oktober 2022.
Dekade terakhir, kehilangan ini jauh lebih. Kehilangan ketebalan kumulatif sejak tahun 1970 berjumlah hampir 30 m.
Pegunungan Alpen Eropa memecahkan rekor pencairan gletser karena kombinasi sedikit salju musim dingin.
Di Swiss, 6% volume es gletser hilang antara tahun 2021 dan 2022 – dan sepertiga antara tahun 2001 dan 2022.
Lapisan Es Greenland berakhir dengan neraca massa negatif selama 26 tahun berturut-turut.
Karena itu, penting bagi seluruh pihak untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya dalam menjaga lingkungan. Upaya mitigasi perubahan iklim sudah sepatutnya menjadi fokus dari seluruh aksi.
Mitigasi ini tentu tidak bisa dikerjakan oleh hanya segelintir orang. Dibutuhkan kemauan dan kesadaran dari seluruh pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk saling bergandeng tangan untuk melakukan aksi-aksi nyata dalam melakukan mitigasi perubahan iklim yang terjadi di dunia, khususnya di Indonesia.
Sumber: BMKG, BBC Indonesia dan WMO
Komentar tentang post