Oleh : Dr. Funco Tanipu, (Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)
Ramadan akan segera berlalu. Bagai seorang perempuan, Ramadan tampak anggun dan suci. Ramadan cermin dari sebuah cahaya yang menyinari jiwa yang membutuhkan cahaya. Hanya jiwa yang suci yang dapat diterangi cahaya itu.
Dalam Ramadan berisi deretan ritus persembahan bagi yang merasa harus menyembah. Salah satu aktifitas itu adalah puasa. Bukan saja untuk menahan haus dan lapar, tetapi lebih dari pada itu puasa untuk mengupas kerak dalam hati yang telah berkarat.
Puasa adalah aktivitas hampir seluruh agama di dunia. Praktik puasa dilakukan oleh beberapa tokoh dunia di luar Islam, misalnya Mahatma Gandhi. Gandhi selalu menekankan pentingnya puasa dan doa untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya, mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri, mencari kebenaran dan menjumpai Tuhan (Kautsar Azhari Noer, 2008).
Bagi kita di Gorontalo, puasa Ramadan adalah ritual yang begitu luhur. Sebelum memasuki Ramadan, ada tradisi yimelu (mohimeluwa) artinya saling menyapa, atau mungkin saling memaafkan atas setiap kesalahan.
Selain itu, ada pula ritual molihu lo limu, yakni aktivitas memandikan tubuh dengan limu tutu, dengan harapan “ahali jamootola limo lo wakutu” (tidak meninggalkan sholat lima waktu). Kesemuanya dimaksudkan untuk menyambut bulan yang suci, agar ritual penyucian diri semakin lancar.