Jakarta – Semua kapal yang berlayar di perairan Indonesia diwajibkan untuk memasang dan mengaktifkan Automatic Identification System (AIS) atau Sistem Identifikasi Otomatis. Ketentuan ini mulai diberlakukan secara efektif pada 20 Agustus 2019.
Kewajiban memasang AIS ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis Bagi Kapal yang Berlayar di Wilayah Perairan Indonesia, tertanggal 20 Februari 2019. Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan.
Direktur Kenavigasian mewakili Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Basar Antonius mengatakan, dengan diberlakukannya Peraturan Menteri tersebut, maka seluruh kapal berbendera Indonesia, serta Kapal Asing yang berlayar di perairan Indonesia wajib untuk memasang dan mengaktifkan AIS. Kapal ini juga berkewajiban memberikan informasi yang benar.
“Tipe AIS sendiri terdiri dari dua kelas, yakni AIS Kelas A dan AIS Kelas B,” kata Basar saat sosialisasi kepada berbagai stakeholder dan instansi terkait di Lombok, Senin (15/7).
AIS Kelas A, wajib dipasang dan diaktifkan pada Kapal Berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan Konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS) yang berlayar di wilayah perairan Indonesia.
AIS Kelas B juga wajib dipasang dan diaktifkan pada kapal-kapal berbendera Indonesia dengan ketentuan antara lain, kapal penumpang dan kapal barang non konvensi berukuran paling rendah 35 Gros Ton. Kemudian, kapal yang berlayar lintas negara atau yang melakukan barter-trade atau kegiatan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Selain itu, menurut Basar, yang wajib memasang dan mengaktifkan AIS Kelas B adalah kapal penangkap ikan yang berukuran paling rendah 60 GT.
Nakhoda wajib mengaktifkan dan memberikan informasi yang benar pada AIS, seperti informasi terkait data statik dan data dinamik kapal untuk AIS Kelas A. Untuk AIS Kelas B, informasi yang wajib diberikan terdiri dari nama dan jenis kapal, kebangsaan kapal, MMSI, titik koordinat kapal dan kecepatan serta haluan kapal.
Menurut Basar, pengawasan dan pemantauan terhadap implementasi Peraturan Menteri ini akan dilakukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melalaui shore base station. Dalam hal ini Stasiun Radio Pantai (SROP) dan Stasiun Vessel Traffic Services (VTS) milik Ditjen Perhubungan Laut.
“Pengawasan dan pemantauan akan kita lakukan secara langsung (terrestrial) maupun melalui satelit guna meningkatkan keselamatan, keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim,” katanya.
Dalam kegiatan ini, juga disosialisasikan tentang rencana implementasi Bagan Pemisahan Alur Laut atau Traffic Separation Scheme (TSS) di alur laut kepulauan Indonesia, yaitu di Selat Sunda dan Selat Lombok.
Penetapan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok ini, menurut Basar, merupakan buah dari kerja keras Indonesia selama tiga tahun lamanya melalui tahapan-tahapan yang tidak mudah dan menyita waktu dan perhatian. Akhirnya TSS dapat diadopsi pada Sidang International Maritime Organization (IMO) Maritime Safety Committee (MSC) ke-101 pada bulan Juni yang lalu.
“Penetapan TSS di Selat Sunda dan Lombok pada Sidang IMO ini menunjukkan peran aktif Indonesia dalam bidang Keselamatan dan Keamanan Pelayaran Internasional, serta dapat memperkuat jati diri Indonesia sebagai poros maritim dunia,” kata Basar.
Pemerintah Indonesia masih memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan, antara lain melakukan pemenuhan sarana dan prasarana penunjang keselamatan pelayaran di area TSS yang telah ditetapkan. Meliputi Vessel Traffic Services (VTS), Stasiun Radio Pantai (SROP), Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP), Sumber Daya Manusia (SDM) Pengelola Stasiun VTS, serta Peta elektronik terkini. Hal ini untuk menjamin operasional seluruh perangkat penunjang keselamatan pelayaran tersebut selama 24 jam.*
Komentar tentang post