Padahal pengelolaan pesisir dan perikanan selama ini mengusung prinsip desentralisasi dan mendekatkan pengelolaan kepada rakyat.
Ketiga, kealpaan pengaturan pidana perikanan bagi korporasi.
Diketahui selama ini pidana korporasi menjadi salah satu kelemahan UU perikanan dalam penanggulangan Illegal, Unreported, Unregulated Fishing di Indonesia. Hal ini tercermin dari lemahnya sanksi hukum pidana pelaku IUUF yang melibatkan korporasi asing.
Publik berharap, upaya penegakan hukum pidana perikanan dapat diperbaharui dalam kerangka sistim hukum nasional yang ternyata tidak diatur dalam RUU ini.
Keempat, inkonsistensi Rezim Pengelolaan Pesisir.
Putusan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 bahwa mekanisme Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) mengurangi hak penguasaan negara atas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sehingga ketentuan mengenai HP-3 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik, dan diubah menjadi mekanisme perizinan.
Sehingga UU 27/2007 diubah menjadi UU 1/2014 dari HP-3 diubah menjadi Izin Lokasi. Naasnya, dalam RUU Cipta Kerja, pengaturan Izin Lokasi sebagaimana angka 2 dihapus. Sehingga mengakibatkan tidak adanya status/bukti penguasaan pemanfaatan di ruang laut.
Kelima, pemberian izin operasi kapal asing di ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia) akan menekan pelaku usaha dalam negeri dan nelayan kecil.
Komentar tentang post