Bogor – Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama pemerintah daerah di 7 provinsi telah menyetujui rencana untuk meningkatkan pengelolaan perikanan secara terintegrasi. Implementasi program ini dengan dukungan Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).
Tujuh provinsi dalam program ini masing-masing Banten, Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Jawa Timur (Jatim), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Timur (Kaltim) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 712, 713, 714 dan 573.
“Bersama-sama dengan pemerintah daerah, inisiatif ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif dalam pengelolaan sumberdaya ikan khususnya pemulihan habitat dan stok ikan perairan pesisir dan laut yang selaras dengan rencana pengelolaan perikanan yang telah di tetapkan oleh kementerian,” kata Dirjen Perikanan Tangkap, M Zulficar Mochtar di Bogor, Rabu (6/3).
Secara global terdapat 66 Ekosistem Laut besar (Large Marine Ecosystem, LME). LME didefinisikan sebagai daerah pesisir yang memiliki produktivitas lebih tinggi daripada di daerah laut terbuka.
Ekosistem laut besar Indonesia (Indonesian Seas Large Marine Ecosystem, ISLME) yang terbesar di dunia, mencakup 500 spesies terumbu karang, 2.500 spesies ikan laut, 47 spesies mangrove dan 13 spesies lamun. Di Indonesia, masyarakat pesisir secara langsung bergantung pada laut sebagai sumber makanan dan pendapatan utama mereka.
Menurut Zulficar, saat ini wilayah ISLME menghadapi berbagai ancaman seperti penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur. Hal ini merupakan ancaman serius bagi sumber daya perikanan.
“KKP memperkirakan bahwa kerugian dari penangkapan ikan illegal (IUU) di perairan Indonesia berjumlah sampai USD 20 miliar per tahun” katanya.
Lima area prioritas dalam kegiatan ini terletak di pantai utara Jawa, Kalimantan Timur, Flores Timur, Lombok dan daerah perbatasan Batugede-Atapupu. Perencanaan terhadap lima area tersebut dibahas dalam pertemuan di Bogor. Program ini bagian dari proyek regional yang dilaksanakan oleh Indonesia dan Timor-Leste, yang meliputi 213 juta hektar perairan teritorial dalam kawasan ISLME.
“Ada sekitar 185 juta orang yang tinggal di daerah itu sangat bergantung pada industri pesisir dan kelautan termasuk perikanan, akuakultur, produksi minyak dan gas, transportasi, dan pariwisata,” kata Zulficar.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia sangat bergantung pada industri pesisir dan kelautan, yang menyumbang 25 persen dari PDB negara dan menyerap lebih dari 15 persen tenaga kerja.

Kegiatan di lima area prioritas ini mencakup demonstrasi pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan dan budidaya, perencanaan tata ruang laut, dan kawasan lindung laut untuk rajungan, lobster, kepiting bakau dan perikanan kakap-kerapu.
Dukungan juga akan diberikan untuk memperkuat institusi yang bertanggung jawab atas pengelolaan wilayah pengelolaan perikanan, pelabuhan perikanan dan pengelolaan sampah laut.
Wilayah perairan ISLME mencakup dua negara Indonesia dan Timor-Leste yang membutuhkan kerjasama kuat dalam menjawab tantangan pengelolaan sumberdaya alam bersifat lintas batas.
Menurut Perwakilan FAO untuk Indonesia, Stephen Rudgard, proyek ini akan membantu Indonesia dan Timor-Leste dalam berkolaborasi dalam meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut.
“Program ini juga bertujuan untuk meningkatkan kontribusi perikanan dalam meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi malnutrisi di kawasan ini,” kata Stephen.*
Komentar tentang post