Jakarta – Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Slamet Soebjakto mengatakan, pembudidaya diharapkan jangan selalu bergantung kepada bantuan pemerintah. Para pembudidaya harus mampu bangkit dengan cepat jika terjadi musibah, serta memiliki jiwa wirausaha, sehingga kesejahteraannya dapat meningkat.
Pada Kamis (1/8) pekan lalu, KKP dan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) meluncurkan produk dibidang asuransi perikanan. Hal ini atas saran dan permintaan pelaku industri budidaya udang yang membutuhkan perlindungan asuransi atas risiko kegagalan usahanya.
Saat ini telah ada produk Asuransi Usaha Budidaya Udang (AUBU) komersial. Izin AUBU komersial tersebut telah mendapatkan pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam sambutan saat acara launching, Slamet mengatakan, melalui AUBU diharapkan dapat lebih banyak mendorong peran swasta untuk bersinergi dengan pembudidaya melalui dukungan teknologi, termasuk mobile application menuju digital farming.
Menurut Slamet, para pembudidaya khususnya pembudidaya ikan kecil, selama ini kesulitan mendapatkan hasil panen berkualitas. Selain itu, mengalami hambatan mendapatkan pembiayaan, serta harga jual rendah, dapat menjadi pembudidaya udang yang mandiri.
AUBU merupakan asuransi yang ditujukan bagi pelaku usaha budidaya udang windu dan vaname, baik dengan teknologi sederhana, semi intensif maupun intensif. Syaratnya, pembudidaya ikan tersebut belum pernah menjadi penerima bantuan premi Asuransi Perikanan bagi Pembudidaya Ikan Kecil (APPIK) maupun pembudidaya yang sudah pernah menerima bantuan, namun telah berakhir masa pertanggungannya.
Program APPIK diluncurkan KKP pada 2017. Sasarannya kembali diperluas dengan menambah usaha budidaya lele sebagai komoditas yang dijamin. Sebelumnya meliputi usaha pembesaran untuk komoditas udang, nila, bandeng dan patin yang telah terlebih dahulu dijamin risikonya.
“Kita harapkan akhir tahun 2019 dapat segera terealisasi untuk para pelaku usaha, dengan rencana pilot project di beberapa lokasi antara lain Pemalang, Purworejo, dan Lampung. Target 50-100 unit tambak udang per bulan dapat diasuransikan,” kata Slamet.
Menurut Slamet, dalam kerjasama ini pembudidaya akan mengeluarkan modal kerja kurang lebih 20-30 persen termasuk membayar semua premi tanpa subsidi sama sekali, agar pembudidaya termotivasi untuk menghindari gagal panen serta menciptakan rasa tanggung jawab yang tinggi. Untuk akses pembiayaan usaha, akan dibuka peluang dari berbagai pihak baik perbankan maupun Financial Technology (Fintech).
Dalam acara launching AUBU-APPIK 2019, dilakukan penandatanganan nota kesepahaman antara Konsorsium AUBU dengan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) terkait sinergitas dalam membangun ekosistem pendukung asuransi.
Slamet mengatakan, tahun 2019 program APPIK ditargetkan mencover 5.000 hektar lahan usaha di 26 provinsi. Dengan tambahan komoditas baru ikan lele diharapkan akan terealisasi lebih dari 5.000 hektar, sehingga akan lebih banyak pembudidaya yang dapat merasakan manfaat asuransi. Tidak menutup kemungkinan perlindungan asuransi ke depan akan menyasar kepada segmentasi usaha dan komoditas lainnya.
Program APPIK sendiri hadir sebagai langkah konkrit dari komitmen KKP untuk melindungi pembudidaya ikan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam
Karena itu, kata Slamet, peran serta dinas, UPT dan penyuluh yang bersinergi dalam mensosialisasikan produk asuransi serta melakukan pendampingan teknologi dan manajemen usaha dapat membantu mengeliminir faktor-faktor utama yang dapat menjadi risiko dalam usaha pembudidayaan ikan. Adapun untuk risiko yang berada di luar kemampuan untuk ditanggulangi, asuransi diharapkan hadir untuk memberikan perlindungan.
“Dengan sosialisasi dan edukasi yang diberikan dapat membangun kesadaran pembudidaya ikan untuk berasuransi, agar ke depannya pembudidaya dapat membayar premi asuransi secara mandiri,” ujarnya.
Hingga tahun 2018 program APPIK telah menjangkau 8.918 pembudidaya ikan yang tersebar di 22 provinsi. Total luas lahan usaha mencapai 13.520,67 hektar, dengan total nilai premi asuransi perikanan yang dibayarkan sebesar Rp 4.472.715.000.
KKP mencatat hingga Juli 2019 sebanyak 382 peserta asuransi telah melakukan klaim dengan nilai yang telah settled mencapai Rp 2.004.186.500 untuk lahan budidaya yang tersebar di 26 kabupaten/kota di 15 provinsi. Klaim asuransi yang dilakukan secara umum disebabkan kegagalan produksi akibat wabah virus udang dan banjir.
Deputi Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) II OJK Moch Ihsanuddin yang hadir dalam acara launching AUBU-APPIK mengatakan, dengan bergulirnya program AUBU-APPIK ini, dua tujuan sudah tercapai yakni program inklusi dan literasi keuangan, serta turut membantu penetrasi bisnis asuransi di Indonesia yang baru mencapai 3 persen.
“Sinergi yang bersifat mutualistik juga terjadi antara pemerintah yang memiliki kewajiban untuk mensejahterakan rakyat dengan industri asuransi yang membutuhkan bisnis baru,“ kata Ihsanuddin.*
Komentar tentang post