Oleh: Noir P. Purba
Koneksi antar Samudera
Mengapa Atlantik Utara (ARA)? Secara geografis, perairan ini berada sangat jauh dari Indonesia. Jarak kedua lokasi ini hampir setengah dari diameter bumi. Selain itu, kedua lokasi ini juga berbeda samudera dan berbeda lintang. Perairan ARA di samudera Atlantik dan berada mendekati kutub utara dan perairan Indonesia diantara samudera Hindia dan Pasifik. Sebenarnya bagaimana hubungan samudera/laut yang sangat jauh dengan Indonesia ini dengan kondisi perairan kita?
Penulis tertarik untuk menganalisis hubungan kedua perairan ini karena selama studi ocean science di Alfred Wegener Institute (AWI), Jerman, ilmu yang dipelajari lebih banyak tentang laut ARA.
Perairan ini sangat penting untuk sirkulasi massa air di seluruh perairan global. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa awal asal massa air yang mengeliling dunia, yang kita kenal dengan Ocean Conveyor Belt (OCB) bermula dari perairan ini. Memahami wilayah ini sedikit lebih mudah karena data yang ada juga cukup banyak, sehingga dinamikanya, didokumentasi dengan sangat baik. Secara konsep, mari melihat kembali konsep OCB yang merupakan konsep perpindahan energi antar samudera.
Dalam istilah lain, OCB ini juga merupakan sirkulasi yang kompleks karena melewati semua perairan benua. Ketiga samudera (Atlantik, Hindia, dan Pasifik) memiliki keterkaitan yang unik. Perairan Indonesia, unik dikarenakan letaknya yang berada diantara dua benua dan dua samudera, tetapi juga perairan kita dipengaruhi oleh sistem global baik dari atmosfer maupun kolom airnya. Artinya, perairan kita terkoneksi secara iklim akibat adanya interaksi di perairan di wilayah dimanapun, termasuk wilayah ARA.

Jika melihat sistem arus dunia, arus yang berasal dari perairan ARA mengelilingi semua samudera dan melewati perairan Indonesia dengan sirkulasi AMOC (Atlantic Meridional Overturning Circulation). AMOC mengontrol iklim global dan mendistribusikan dan menyeimbangkan panas ke seluruh perairan. Walaupun waktunya sangat lama (sekitar 1200 tahun untuk mencapai satu siklus), tetapi sangat penting karena perubahan di ARA akan mengubah dinamika perairan di Indonesia.
Salah satu contoh adalah dalam sirkulasi nutrien dan material penting lainnya di kolom air. Nah, artinya apa yang terjadi di perairan ARA, menjadi semacam “alarm“ untuk perairan Indonesia, demikian juga sebaliknya. Perairan ARA adalah wilayah yang terkoneksi dengan Artik dan karakteristik airnya dipengaruhi oleh masukan air tawar dan pendinginan dari Artik.
Dampak di Indonesia
Ada hal yang menjadi bahasan akhir-akhir ini di ARA selain isu lokal seperti halnya sampah laut yang juga terdapat di perairan ini. Jika dilihat dari fenomena pemanasan global dimana wilayah yang paling berpengaruh adalah wilayah kutub baik di utara maupun selatan (Antartika).
Studi terbaru dari Swire Institute of Marine Science yang diterbitkan di Geophysical Research Letter mengemukakan bahwa sirkulasi perairan global mengalami perlambatan akibat konsekuensi dari pemanasan global dan mencairnya es di Greenland. Penelitian yang sama juga diungkapkan oleh Thornalley dari Woods Hole Oceanographic Institution, USA yang menyatakan bahwa terjadi perlambatan selama 150 tahun belakangan jika dibandingkan dengan 1500 tahun sebelumnya.
Penelitian lain Jon Robson, dari University of Reading juga menunjukkan bahwa dengan mencairnya es, maka masukan air tawar dari pencairan mengakibatkan densitasnya rendah, sehingga hal ini tidak cukup kuat untuk menggerakkan air ke bawah sebagai asal dari OCB. Peneliti lainnya juga mengungkapkan bahwa kejadian berhentinya sirkulasi dunia ini pernah terjadi ketika jaman es dan mengkhawatirkan bahwa hal ini dapat terjadi juga di masa depan.
Walaupun hal ini masih terus dikaji, namun jika ini terjadi, maka akan mengubah iklim dunia. Walaupun secara langsung mengubah iklim di Eropa dan Amerika, namun perlambatan sirkulasi ini juga berarti melambatnya aliran nutrien ke wilayah Indonesia. Perairan Indonesia sangat subur, selain diakibatkan oleh letaknya yang berada di daerah tropis, juga karena adanya akumulasi nutrien “diperangkap” oleh kepulauan kita. Selain itu, pengaruhnya juga kepada sistem monsun di Indonesia, dimana akan terjadi perubahan pola monsun akibat perubahan interaksi antara lautan dan atmosfer.
Prediksi yang paling ekstrem mengemukakan bahwa jika OCB tidak jalan, itu berarti tidak ada distribusi nutrien ke kolom air di seluruh dunia. Beberapa peneliti juga mengungkapkan jika hal itu benar benar terjadi, artinya sama saja dengan “kiamat”. OCB ini sama seperti aliran darah didalam tubuh manusia yang mentransfer energy ke seluruh bagiannya.
Pemanasan global sebagai salah satu faktor dinamika OCB, ternyata belum dicegah dengan cepat. The Special Report on Global Warming of 1.5°C yang dikelaurkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dibawah PBB, mengeluarkan harapan agar kita semua dapat berbuat untuk membatasi pemanasan global dengan limit 1.5°C.
Di perairan Atlantik, terutama di perairan dangkal, saat ini beberapa negara termasuk Jerman sudah menggunakan energy angin dengan struktur bangunan di laut. Diharapkan dengan energy baru dan terbarukan ini, terjadi pengurangan karbondioksida ke atmosfer. Jika perairan kita tetap mau subur dan ikan yang melimpah, “alarm“ di ARA sudah memberikan sinyal terkait apa yang harus kita lakukan.*
Noir P. Purba, saat ini adalah mahasiswa postgraduate dalam bidang Ocean Science di Alfred Wegener Institute (AWI) Jerman. Kontak: noaapoerba@aol.com
Komentar tentang post