Darilaut – Isu ekspor benih lobster telah memicu polemik setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 12/2020. Permen ini tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp.), dan rajungan (Portunus spp.) di wilayah negara Republik Indonesia.
Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah memilih salah satu isu mengenai ekspor benih lobster untuk dikaji secara mendalam dan komprehensif.
Hasil pembahasan LBM PBNU, ekspor benih bening lobster diperbolehkan Permen KP 12/2020 dengan beberapa syarat (pasal 5): (a) kuota dan lokasi penangkapan benih bening lobster sesuai kajian KAJISKAN; (b) eksportir benih bening lobster harus melaksanakan pembudidayaan lobster; (c) sudah panen budi daya lobster berkelanjutan dan melepasliarkan 2 persen hasil budi daya; dan (d) benih yang diekspor harus diperoleh dari Nelayan Kecil Terdaftar.
Pemerintah mematok harga benih terendah di nelayan (pasal 5 ayat 3), sebagai upaya agar ekonomi nelayan tidak dirugikan. Dalam ketentuan ekspor benih, dicantumkan keharusan budi daya dan pelepasliaran 2 persen hasil panen. Ini yang dijadikan argumen KKP, bahwa meski membolehkan ekspor, Permen ini menitikberatkan pada budi daya dan restocking.
Setelah mendengar masukan berbagai nara sumber, menelaah informasi dan analisis, LBM PBNU berpandangan, bahwa ekspor benih bening lobster harus dihentikan. Pemerintah harus memprioritaskan pembudidayaan lobster di dalam negeri. Ekspor hanya berlaku pada lobster dewasa, bukan benih.
Berikut dasar argumentasinya:
Dalam studi hukum positif, ada tiga aspek batu uji yang harus ditelaah secara simultan dan seimbang: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dari aspek kemanfaatan, untuk jangka pendek, ekspor benih lobster, memang menguntungkan pendapatan nelayan kecil penangkap benih.
Tapi dalam jangka panjang, ini dapat melemahkan daya saing Indonesia dalam peta eksportir lobster dunia, menguntungkan pesaing Indonesia, seperti Vietnam, melemahkan minat budi daya lobster di dalam negeri, dan dapat mengganggu ketersediaan dan keberlanjutan benih lobster.
Ekspor benih bening lobster, menurut salah satu ahli dalam kajian LBM PBNU, menyebabkan dampak:
(1) harga benih di tingkat pembudidaya anjlok;
(2) benih bening lobster yang berkualitas baik mulai sulit diperoleh;
(3) hilangnya kesempatan pembudidaya lobster untuk menjalankan usaha itu, mengingat harga jual pasca panen menurun drastis; dan
(4) hilangnya kesempatan generasi muda untuk terlibat dan berwirausaha dalam pembudidayaa dan pengolahan lobster pasca panen.
Solusinya, pembelian benih lobster dari nelayan kecil, dapat tetap difasilitasi, dalam rangka meningkatkan pendapatan nelayan kecil. Tidak dilarang sebagaimana Permen KP 56/2016. Tetapi benih lobster yang dibeli dari nelayan kecil itu bukan untuk diekspor, melainkan dibudidayakan sampai memenuhi standar ekspor, dalam bantuk lobster dewasa.
Izin ekspor diberikan bukan untuk ekspor benih, tapi untuk ekspor lobster dewasa. Kewajiban eksportir dalam pembudidayaaan lobster, harus didorong sampai menghasilkan lobster dewasa, bukan sekadar benih lalu diekspor.
Keberadaan pasal 5 tentang ekspor benih bening lobster dan pasal 2 tentang ekspor lobster dewasa, dalam Permen KP 12/202 bisa memicu ketidakpastian hukum.
Pasal 2 melarang ekspor lobster yang belum memenuhi syarat panjang dan berat tertentu, sementara pasal 5 membolehkan ekspor bibit lobster yang panjang dan bobotnya di bawah standar minimal lobster ekspor di atas. Ini dapat memicu ketidakpastian hukum.
Kepastian hukum dapat tercapai, bila norma pasal 2 dilanjutkan dengan ketentuan larangan ekspor seluruh lobster muda dan benih yang panjang dan beratnya di bawah standar lobster ekspor. Formula ini lebih sejalan dengan aspek kemanfaatan dan kepastian hukum.
Dalam perspektif hukum Islam, formula tersebut sejalan dengan prinsip maslahah dan sadz dzari’ah (preventif).
Mengacu Kepmen 50/2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan SDI di WPP-NRI, status sumber daya lobster di 11 WPP-NRI sudah fully dan over-exploited, seharusnya Menteri KP lebih memprioritaskan pengelolaan benih bening lobster (BBL) di dalam negeri, bukan mengekspor ke vietnam.
Sisi lain, pada level empirik, diperoleh laporan, bahwa lebih 200 ribu ekor benih bening lobster (BBL) diekspor ke Vietnam pada 12 Juni dan 9 Juli 2020. Hal ini memperlihatkan, bahwa belum sampai sebulan setelah Permen KP 12/2020 keluar pada 4 Mei 2020, ekspor benih lobster sudah berlangsung.
Pertanyaannya, apakah syarat penerima izin ekspor yang harus melakukan budi daya, harus panen berkelanjutan, dan harus melepasliarkan 2 persen hasil budi daya, sudah dipenuhi?
Terindikasi kuat, ketentuan ekspor bibit benih lobster tidak dipatuhi. Efektivitas mekanisme pengawasan dipertanyakan.
Hasil ini telah ditandatangani Ketua LBM PBNU KH. M. Nadjib Hassan dan Sekretaris H. Sarmidi Husna, MA, tertanggal 4 Agustus.*
Komentar tentang post