Darilaut – Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah menetapkan riset etnoekologi melalui kearifan lokal dalam rencana aksi.
Mewakili Kepala Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, saat membuka Jamming Session seri ke-11, tema “Nusantara Dalam Teropong Etnoekologi“, Kamis (10/8), Decky Indrawan Junaedi, mengatakan, riset etnoekologi telah disampaikan ke Bappenas untuk tahun 2023-2029.
Etnoekologi adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan, kearifan, dan kecerdasan lokal tentang persepsi, konsepsi, pemanfaatan, dan pengelolaan lingkungan pada tingkatan ekosistem.
Riset ini bertujuan mengungkap potensi dan nilai untuk mendapatkan strategi baru, solusi, dan model pengelolaan ekosistem dan sumber daya alam hayati secara berkelanjutan.
Ketua Kelompok Riset Etnoekologi BRIN Dian Oktaviani menjelaskan tiga program riset etnoekologi yang telah dilakukannya bersama tim.
Pertama, kata Oktaviani, pengungkapan secara ilmiah tentang pengetahuan, kearifan, dan kecerdasan lokal tentang pengelolaan ekosistem bentang alam.
Kedua, penelitian tentang strategi adaptasi dan mitigasi dari pengelolaan sumber daya hayati dan lingkungannya terhadap perubahan akibat aktivitas manusia dan perubahan iklim.
Ketiga, pengembangan konsep pengelolaan ekosistem bentang alam berbasis pengetahuan lokal, kearifan lokal, dan kecerdasan lokal.
Profesor Riset Bidang Entobiologi BRIN, Purwanto, dalam presentasinya menjelaskan sejarah dan ruang lingkup etnobiologi sejak 1935.
Menurut Purwanto etnobiologi masa kini fokus pada kolaborasi antar disiplin dan mengarah pada pengembangan konsep biocultural diversity.
Sebagai bagian dari etnobiologi, kata Purwanto, tahapan studi etnoekologi bertujuan memahami bagaimana masyarakat berinteraksi dengan lingkungannya.
Purwanto menjelaskan deskripsi rinci kondisi aktual ekosistem, lalu rekonstruksi pola pikir masyarakat tentang lingkungannya.
Berikutnya, studi aktivitas produksi, kajian ekologis, analisis multi inter transdisipliner dan berakhir di solusi, konsep atau model pengelolaan.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN Heru Dwi Riyanto mencontohkan upaya pemanfaatan salah satu spesies terancam kepunahan kategori IUCN oleh masyarakat lokal, yaitu Diptericarpus retusus.
Spesies langka yang dikenal dengan sebutan meranti jawa berdasarkan hasil kajiannya sudah dimanfaatkan secara tradisional turun temurun oleh masyarakat lokal di jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
Heru melakukan perbanyakan bibit bersama masyarakat lokal dan ditanam di beberapa kawasan konservasi di Jawa.
Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi lainnya, Yohanis Ngongo menjelaskan hasil riset etnoekologi dan pelestarian sumber daya pertanian di wilayah semi arid, yaitu di Nusa Tenggara.
Ngongo mengatakan sistem usaha tani mamar atau kalio semacam agroforestry lokal telah dipraktikkan secara turun temurun oleh 25 persen petani di Timor dan Sumba.
Kearifan lokal di Timor yaitu praktik usaha tani selaras alam berupa bagaimana pengelolaan ladang berpindah dengan membakar lahan secara terbatas.
Usai masa panen, menurut Ngongo, lahan dibakar terbatas, kemudian ditanami jenis-jenis tanaman lokal penyubur tanah dan dibiarkan selama sekitar dua tahun.
Hal ini memberi kesempatan ladang untuk subur kembali dan siap ditanami pada periode masa tanam berikutnya, kata Ngongo.
Komentar tentang post